Dan pelukmu ialah sebaik-baik tempat pulang.
[ d i a l e k t i v a ]
"Aksi nasional yang digagas sama Aliansi BEM SI masih sepekan lagi, tapi beberapa kampus di tiap daerah udah gelar aksi massa," ucap Janu mengawali rapat internal pengurus inti UKSP. "Dari info yang gue dapat, aksinya bakal besar banget. Tuntutannya beragam dan semua orang dari berbagai kalangan akan turun. Tuntutan yang paling mendesak adalah pengesahan RUU Omnibus Law. Tuntutan lainnya soal Gala yang divonis sepuluh bulan penjara."
Ketika nama Gala disebut, amarah Bumi kembali meletup ke ubun-ubun. Gala merupakan salah satu rekan aktivisnya yang divonis sepuluh bulan penjara karena terjerat pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan pencemaran nama baik Dirja Suryadiputra, Ketua Komisi I DPR RI. Gala bukanlah mahasiswa Universitas Negeri Pallawa. Laki-laki yang usianya tiga tahun lebih tua dari Bumi itu pernah berkuliah di salah satu kampus negeri Kota Bandung sebelum akhirnya dikeluarkan dan berakhir mendekam di penjara. Bumi mengenal Gala dalam setiap barisan aksi massa. Dari Gala pula Bumi belajar tentang banyak hal. Selain itu, salah satu anggota keluarga Gala juga merupakan korban aksi massa tahun 1998.
"Bumi." Janu memanggil Bumi. "Kita mau gerak kapan?"
"Lusa," jawab Bumi. "Hari ini sebar ajakan aksi di Gedung Sate ke anak-anak di kampus kita, kampus lain, sama serikat buruh di Jabar. Pekan depan kita gerak bareng sama aliansi BEM SI ke Jakarta."
Janu mengangguk. "Konsol sama anak BEM juga?"
Bumi berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Nggak semuanya. Ajak yang memang mau terlibat aja."
Berbeda dengan kebanyakan BEM di universitas lain, BEM di Universitas Negeri Pallawa tidak melalukan inisiasi pergerakan. Selain intervensi dari pihak kampus, arah pergerakan di BEM Universitas Negeri Pallawa juga kabur. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aksi massa atau diskusi kritis ditiadakan. Kebanyakn aktivitas BEM hanya terpusat pada permasalahan kampus—itu pun tidak semuanya. Masalah Bumi dan beberapa aktivis lain yang dikeluarkan secara tidak hormat juga tidak menyulut pihak BEM untuk mengadakan aksi di depan gedung rektor.
Setelah membahas beberapa hal teknis, rapat UKSP sore itu ditutup. Sebelum meninggalkan sekretariat UKSP, Janu menghampiri Bumi. Laki-laki itu tampak berpikir keras. Sudut bibirnya sudah bergerak, tetapi mulutnya masih bungkam.
Bumi yang menyadari sikap Janu membuang napas. "Ngomong aja."
Janu terdiam beberapa saat. "Gue nggak mau mencampuri urusan lo, tapi ... kalau lo butuh bantuan gue ... tempat tinggal, uang atau sekadar teman makan, bilang aja ya, Bum."
Bumi membuang napas. Dari perkataan Janu, ia akhirnya sadar bahwa kondisinya saat ini sudah lebih dari terdesak. Sebagai mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa bidikmisi, dengan dikeluarkan dari kampus, sudah jelas Bumi tidak akan menerima living cost seperti biasanya. Kontrak indekosnya juga akan berakhir lusa.
"Makasih, Jan, tapi saya belum butuh."
Janu membuang napas, terlihat gusar. "Terus, rencana lo ke depannya gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya ... ke depannya lo akan gimana, Bum? Stay di Bandung? Balik ke Jakarta? Atau ...?"
"Sepertinya pertanyaan ini sudah bagian dari mencampuri urusan saya, Jan."
"Bum—"
"Saya duluan."
Setelah itu, Bumi melangkah keluar gedung perkumpulan mahasiswa. Pertanyaan Janu berputar berulang-ulang di kepalanya. Rencana lo ke depannya gimana? Bumi membuang napas. Ia juga tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia sudah dikeluarkan dari kampus dan lusa harus segera mengosongkan indekosnya. Pulang ke Jakarta? Bumi bahkan tidak tahu bahwa kota metropolitan itu masih ada. Lagipula, ketika ia ke sana, ke mana ia harus benar-benar pulang? Ke pemukiman kumuh bantar gebang tempat yang mengajarinya beratnya kehidupan? Ke panti asuhan tempat ia tumbuh menjadi remaja dengan cita-cita abstrak yang memenuhi kepalanya?
Langkah kaki Bumi berhenti di Taman Widipa. Seperti biasa, ia melihat latihan pementasan drama kelas Sativa. Posisi sutradara digantikan oleh Lumi, salah satu pengurus teater yang Bumi kenal juga. Bumi berjalan mendekat, lalu duduk di salah satu kursi. Dari jarak enam meter, tatapan Bumi hanya tertuju kepada Sativa. Perempuan itu tengah duduk di samping Mizi sambil membaca novel. Bumi tahu buku yang sedang Sativa baca.
Pulang karya Leila S. Chudori.
Bumi membuka tasnya, mengambil sebatang rokok, menyulutnya, dan menghisapnya dalam-dalam. Setelah itu, Bumi mengambil potret buram ibunya, Jingga, yang ia selipkan di antara buku berisi kumpulan puisinya. Bumi menunduk, menatap setiap garis wajah ibunya dalam foto itu. Kemudian, ada banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Jika dulu ibunya bukan seorang pejuang, apakah ia akan menjadi sosok Bumi yang tampak hari ini? Jika ia tidak tumbuh dengan bekas luka dan makian dari orang-orang di sekitarnya, akankah ia tetap berada di garda terdepan dalam barisan aksi massa? Jika hidupnya baik-baik aja, apakah lusa dan sepekan yang akan datang ia tetap melancong ke gedung DPR?
Tanpa Bumi sadari, matanya memanas. Dalam beberapa waktu terakhir, ia menjadi lebih lemah dan rapuh. Atau sebetulnya, selama ini ia hanya berpura-pura kuat aja? Beberapa tetes air yang turun dari langit jatuh di kepalanya. Tetesan itu semakin membesar, diikuti hujan pada pelupuk matanya yang juga kian menderas.
Kemudian, sama seperti sebelumnya, sepasang sepatu converse berwarna hijau army berada tepat di depannya. Bumi tahu pemilik sepatu itu. Bumi juga tahu hanya dengan melihat sepatu itu perasaannya membaik. Bumi tahu ... bahwa di saat-saat seperti ini, hanya sang pemilik sepatu yang dapat memahaminya.
Perlahan, Bumi menegakkan kepala. Nyala api rokok di bibirnya sudah padam bersamaan dengan tetesan hujan. Di hadapannya, Sativa, dengan rambut terikat yang sebagian besarnya sudah basah terkena tetesan air hujan menatapnya lekat-lekat. Sama seperti Bumi, tatapan mata Sativa juga sendu. Bumi membuang rokoknya begitu saja, lalu mendongakkan wajah: menatap Sativa tanpa jeda.
Tangan Sativa terulur ke arah wajah Bumi, hendak menghapus air mata yang menetes, tetapi ia urungkan. Sebelum tangannya kembali ke tempat semula, Bumi sudah terlibih dahulu mengambil tangan Sativa, lalu meletakkannya di atas kepalanya. Tangan Bumi menuntun Sativa untuk mengusap pelan kepalanya.
"Kenapa Kak Bumi di sini?" tanya Sativa pelan.
Bumi menggeleng pelan. "Saya juga nggak tahu, Tiv."
Bumi menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap Sativa. "Saya mau pulang, Tiv," ujar Bumi dengan suara serak, "tapi nggak tahu harus pulang ke mana."
Sativa membuang napas. "Kak, saya—"
Ucapan Sativa terhenti saat Bumi menyandarkan keningnya di bagian depan tubuh Sativa yang masih berdiri. "Tiv," ujar Bumi serak, "Boleh saya pulang ke kamu aja?"
catacand:
meskipun pendek, semoga ngilangin rasa kangen kamu sama cerita ini ya! siap-siap memasuki fase krisis gelombang dua!
fase krisis pertama yang aku maksud adalah pas debat, khususnya bab bidasan [3], hehe. itu adalah part terfavorit aku sampai sejauh ini. kalau kalian yang mana? :))
btw, aku nggak tahu next chapternya kapan di-up. sambil nunggu itu, boleh deh kalau ada yang mau tanya-tanya sama pemain, inline comment aja yaa!
Sativa
Bumi
Adiran
Mizi
Netta
Cand
see you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficción GeneralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...