Klik

4.3K 1K 114
                                    

"Ini apa?" Sativa bertanya saat Mizi memberikan milk tea fresh brown sugar macchiato ke hadapannya. Mizi duduk di sebelah Sativa. Mereka berdua sama-sama memperhatikan latihan pergelaran yang dipimpin Lumi di ruang akses.

"Boba yang baru buka di depan gate dua itu, Tiv. Lagi ngehits banget. Katanya enak."

"Maksud gue, kenapa lo ngasih boba ke gue?" Sativa bertanya lagi. Kali ini, nadanya meninggi satu oktaf. Sebelum Mizi menjawab, Sativa berdecak ringan dan merilekskan wajahnya yang sejak tadi terlipat. "Sori gue ngegas."

"Kalem, Tiv, kalem," ujar Mizi. Ia tahu Sativa masih emosi karena perdebatannya dengan Adiran beberapa saat lalu. "Ini lagi promo buy one get one. Jadi, yang satunya gue kasih ke lo. Kenapa, Tiv? Lo nggak suka, ya?"

"Bukan gitu. Kenapa lo ngasihnya ke gue?"

Mizi menggumam. "Nggak kenapa-kenapa, sih. Lo curiga gue modus ya, Tiv?" tanya Mizi, "Tenang, Tiv, gue nggak ada intensi buat ngedeketin lo sebagai crush gue. Lagian, gue kan punya cewek."

"Emangnya kalau lo udah punya cewek, lo bisa jamin nggak akan merasakan crush ke orang lain?" Sativa mengambil boba dari tangan Mizi dan mulai meminum boba yang diberikan Mizi. "Selama empat tahun pacaran ... lo yakin nggak pernah merasakan crush sama orang lain?"

Mizi berpikir sejenak, lalu mengangguk kecil. "Pernah, sih, beberapa kali. Tapi ... gue bisa handle, kok."

"Gimana caranya?"

Mizi terdiam. Berpikir beberapa saat sebelum menceritakan hal-hal seperti ini kepada Sativa. Ia ingin menahannya, tetapi berbagi obrolan kepada Sativa seperti ini cukup menyenangkan. Sativa tidak pernah memintanya bercerita dan banyak bicara, tetapi setiap pertanyaannya seolah mengajak Mizi untuk bercerita.

"Nggak gue follow up, Tiv," ucap Mizi setelah ia diam beberapa saat. Sativa menoleh. Keningnya mengernyit dan wajahnya menyiratkan ekspresi penasaran. Setelah meminum bobanya, Mizi berdeham pelan. "Dari awal jadian sama cewek gue, gue udah komitmen sama diri gue sendiri untuk nggak mem-follow up perasaan gue ketika gue mulai merasa klik sama orang lain. Lo tahu, kan, Tiv, klik yang gue maksud tuh yang kayak gimana?"

Sativa menggeleng kecil. "Nggak tahu, sih, soalnya gue nggak pernah klik sama orang lain."

Jawaban lugas itu membuat Mizi terdiam, lalu tertawa kecil. "Yakin?"

"Iya lah."

"Sama Kak Bumi ... lo nggak merasa ngeklik tuh, Tiv?"

Sativa terdiam beberapa beberapa detik sebelum menjawab, "Enggak."

"Tiv, tadi lo sempat mikir dulu sebelum jawab. Seharusnya kalau benar-benar enggak, lo bakal jawab tanpa jeda."

"Kenapa ini jadi bahas gue ya, Zi?"

"Oke, oke, habis gue pikir lo nggak tertarik dengerin gue."

"Tertarik, kok," ujar Sativa, "nggak tahu kenapa selalu nyambung aja kalau ngobrol sama lo."

"Sama, Tiv," balas Mizi, "kenapa ya?"

Sativa menggumam sebentar. "Apa ini yang lo maksud dengan nge-klik?"

Pertanyaan itu membuat Mizi terdiam. Ia melirik Sativa, lantas pelan-pelan mulai berpikir awal dari semua rasa nyamannya muncul saat bersama Sativa. Sejak pertama kali bertemu Sativa, Mizi sudah bisa menduga bahwa ia dan Sativa memiliki peluang untuk berteman baik. Sejak pertama kali mengobrol panjang lebar dengan Sativa di Mezanin, Mizi sudah tahu bahwa Sativa adalah pembicara dan pendengar yang baik. Mizi tidak memiliki intensi apa-apa sebab ia tahu bahwa perasaannya saat ini masih berlabuh kepada Disa saja. Menjadikan Sativa sebagai teman adalah pilihan terbaik. Akan tetapi, ketika Sativa melontarkan sebaris pertanyaan itu ... Mizi jadi berpikir kembali.

"Kenapa lo bengong?" tanya Sativa—berhasil membuat Mizi mengalihkan pandangannya. "Jadi gimana cara lo nge-handle-nya? Apa yang lo maksud dengan "nggak gue follow up"?"

"Oh ... ya jadi kalau gue mulai merasa klik sama seseorang. Entah karena sikapnya, mukanya, humornya, bahkan diamnya .... Kalau gue ada di titik di mana gue ngebatin kayaknya gue suka sama dia, akan gue diemin aja, Tiv. Nggak akan gue stalking Instagramnya. Nggak akan gue sapa kalau ketemu orangnya. Nggak akan gue ajak ngobrol. Lama-lama, perasaan suka itu bakal hilang sendiri. Gue jadi sadar kalau itu perasaan kagum atau ketertarikan sesaat aja. Bisa juga perasaan itu juga muncul atas hubungan gue yang gitu-gitu aja."

Sativa menggumam kecil. "Gitu-gitu aja? Ngebosenin maksud lo?"

"Ya kadang-kadang perasaan itu kan emang ada, Tiv. Kalau gue atau cewek gue lagi excited sama hal-hal baru yang berkaitan sama hidup kita sendiri, di titik itu kadang gue merasa gue bisa happy tanpa dia. Misalnya acara-acara komunitas dan kegiatan yang gue eksplor belakangan ini bikin gue happy abis."

"Kalau gitu kenapa lo harus punya pacar?" tanya Sativa. "Eh, gue nggak bermaksud ngomporin lo biar putus ya. Maksud gue kalau lo udah punya formula untuk happy dengan diri lo sendiri, kenapa lo harus in a relationship, LDR, dan dalam beberapa waktu berada dalam hubungan yang bikin lo jenuh? Gue penasaran aja, sih, sama orang-orang kayak lo yang jadian dalam rentang waktu yang lama. Gue nggak yakin kalau itu sepenuhnya karena perasaannya masih sama. As you said before, kadang-kadang lo juga merasa jenuh dan beberapa kali perasaan lo juga belok ke orang lain. Jadi, kenapa, Zi?"

"Karena ada yang beda kalau Disa nggak ada, Tiv," ujar Mizi. Dan untuk pertama kalinya, Mizi menyebutkan nama Disa di hadapan Sativa.

"Disa?"

"Itu cewek gue. Namanya Disa."

Mata Sativa menyipit. Ia memperhatikan Mizi beberapa saat kemudian menghabiskan sisa boba yang diminumnya.

"Mizi," ujar Sativa. Mizi memperhatikan bagaimana Sativa menatapnya intens. Tatapannya dipenuhi tanda tanya. "Gue mau nanya, deh."

"Apa?"

"Kenapa lo mention nama cewek lo ke gue?"

"Ya kan gue lagi cerita, Tiv."

"Kenapa lo cerita ke gue?"

"Karena tadi lo nanya-nanya."

"Kenapa lo jawab?"

"Karena gue pengen aja ngobrol sama lo."

Sativa membuang napas pelan. "Kayaknya kita jangan sering-sering ngobrol lagi, deh, Zi."

"Lah, kenapa?" tanya Mizi. Sebelum Sativa menjawab, Mizi sudah lebih dulu melanjutkan dengan bertanya, "lo takut gue ngeklik sama lo, Tiv?"

Sativa berdiri, bersiap-siap membuang gelas bekas boba yang sudah habis ia minum. "Lebih dari itu, gue takut lo nggak bisa handle."

"Kenapa lo mikir begitu?"

"Karena lo melakukan follow up, Zi," jawab Sativa. "Seharusnya, ketika lo merasa nyaman ngobrol sama gue, lo akan memutuskan untuk nggak ngobrol sama gue lagi, kan?"

Mizi membisu. Ucapan Sativa menyadarkannya. Memang masih terlalu dini untuk menamakan perasaan nyaman yang ia rasakan ketika bersama Sativa sebagai perasaan suka, tetapi Mizi cukup yakin bahwa peluang untuk menyukai seorang Sativa itu benar-benar ada—bahkan dalam persentase yang cukup besar.

"Zi, semuanya tuh dimulai dari nyaman. Makanya, sebelum nyaman itu berubah jadi perasaan lain, gue udah ngasih peringatan," ujar Sativa dengan nada asertif, "gue mau kliknya kita berdua cukup sampai batasan teman aja ya."

catatcand

kasi aku hipotesis kalian kenapa tiva langsung banting stir obrolan pas mizi mention nama disa. maksudnya, apa yang ada di pikiran atau kata hati sativa pas mizi mention nama pacarnya! iseng-iseng aja sih ini hehe. pengen tahu intuisi kalian.

btw kenapa mulai di part sebelumnya banyak yang ngeship mizi sama netta? wkwk. padahal mereka berdua ledek-ledekan mulu dari part satu.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang