Kabar Sativa: Jatuh Hati

4.1K 722 117
                                    

"YA AMPUUUUNNN! GILASIH GILASIH GILASIH! LUMER DEH GUE!"

Itu teriakan kesembilan yang keluar dari mulut Netta sejak ia dan Sativa bersama-sama. Sejak dua jam lalu, Sativa sudah sampai di rumah Netta. Alasannya kembali mengunjungi kota yang katanya Tuhan ciptakan saat tersenyum in tidak lain karena permintaan tulus Mizi beberapa hari lalu.

"Shooting-nya udah nggak bisa diundur lagi, Tiv. Pas itu sempet ketunda karena kondisi Netta lagi parah banget. Makanya gue fokus ke Netta dulu dan ngerjain shooting yang lokasinya masih bisa dijangkau. Tapi sekarang udah nggak bisa lagi. Selain jadi kepala keluarga, gue juga kan jadi "kepala" di project ini. Temenin Netta dulu, ya? Seminggu aja. Gue usahain seminggu shooting-nya kelar."

Mizi, laki-laki berusia dua puluh delapan tahun yang akan menjadi ayah bulan depan itu memohon berkali-kali kepada Sativa. Sejak Sativa tinggal di Malang dan mulai melukis, salah dua rekan kampusnya yang masih berkomunikasi intens hanya adalah Mizi dan Netta. Selebihnya, Sativa tidak pernah berkomunikasi dengan siapapun, termasuk Adiran, Naja, dan Bumi. Ia benar-benar memutus kontak.

Mendengar permintaan Mizi, Sativa langsung menolak. "Ya kan di rumah lo ada Mbak. Ada yang nemenin Netta, kan? Gue yakin urusan perut dan rumah aman. Netta tuh yang penting bisa makan enak sama nonton Netflix aja udah oke, Zi."

Mizi tertawa kecil. "Semenjak gue nikah sama Netta, gue jadi tahu kalau hal yang paling dia suka bukan jajan sama nonton drama."

"Terus apa?"

"Ditemenin ngobrol, Tiv," balas Mizi. "Lo tau kan Netta berisiknya kaya gimana? Dan aslinya, dia lebih berisik dari itu. Tiap hari selalu ada aja yang dia komentarin. Dan dia bisa nggak waras tuh kalau nggak punya temen ngobrol. Mbak di rumah udah tua, Tiv. Nggak nyambung ngobrol sama Netta."

Sativa terdiam sejenak. "Dalam sehari, lo bisa dengerin ocehan Netta berapa lama?"

"Kalau lagi WFH ... ya ... sekitar ... delapan belas jam?"

"Hah?"

"Gue nggak melebih-lebihkan. Netta tuh cuma diem kalau lagi tidur sama solat aja, Tiv."

"Nggak capek lo, Zi?"

"Capek kenapa?"

"Ya .... lo jadi nggak punya waktu buat diri lo sendiri, kan?" tanya Sativa.

Di ujung telepon, Mizi terkekeh pelan. "Ya waktu yang gue habiskan sama Netta kan, waktu buat diri gue sendiri, Tiv."

Kalimat yang seharusnya bernada romansa itu justru direspons Sativa dengan, "Ewww."

"Gue emang bucin banget, Tiv, sama temen lo." Mizi terkekeh pelan. "Pokoknya titip Netta ya, Tiv. Serius ... gue nggak bisa bayangin Netta ngoceh sendiri nggak ada temen ngobrol. Nanti kalau pas gue balik dia gila, gimana?"

Sativa akhirnya mengangguk menyetujui. Selain karena ia juga sudah lama tidak bertemu Netta, Sativa selalu kalah dengan sebuah permintaan tulus. Dari permintaan Mizi, ia bisa menilai betapa Mizi menyayangi Netta. Laki-laki itu sampai memikirkan apa yang dibutuhkan Netta saat ia tidak bisa bersamanya.

Dan di sinilah Sativa sekarang. Duduk di atas kursi rias kamar Netta sambil menonton ibu hamil yang perutnya sudah membesar itu fokus menonton drama Korea di laptonya. Sejak awal menonton, Netta benar-benar tidak berhenti bicara.

"Ya ampun gantengnya! Semoga gantengnya nular ke kamu ya, Naaakkk .... Jangan ngambil muka papa kamu, ya ...." begitulah ujar Netta sambil mengelus-elus perutnya. Jika perut Netta tidak membesar, Netta saat ini tidak berbeda dengan Netta yang Sativa kenal sejak kuliah.

"TIV! SINI LAH NONTON BARENG!" Netta kembali mengajak Sativa. "Gue kenalin sama laki-laki yang bisa bikin lo meleyot nih!"

Sativa berjalan pelan menuju kasur, lalu duduk di sebelah Netta. "Laki-laki kayak gimana, sih, yang bikin lo dari tadi teriak-teriak?"

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang