Lari

4.6K 1.1K 114
                                    

"Makasih, Tiv," ujar Mizi saat ia dan Sativa baru saja keluar dari kereta.

"Makasih buat apa?" Sativa balik bertanya.

Mizi bergumam sebentar. "Nggak tahu, sih. Mau makasih aja," ujar Mizi pelan. Melihat Sativa tidak memberikan respons apa-apa, Mizi kembali bersuara. "Kadang lo suka gitu nggak sih? Pengen bilang makasih aja sama orang lain."

Sativa tidak langsung menjawab. Ia tetap berjalan satu langkah di depan Mizi. Di belakangnya, Mizi berusaha menyejajarkan langkah. Mereka berdua baru saja turun dari perjalanan delapan jam kereta api Yogyakarta-Bandung. Dua puluh empat jam terakhir, Mizi dan Sativa menghabiskan waktu bersama di Yogyakarta: menonton stand up comedy, menyusuri Jalan Gejayan, sampai makan di angkringan dekat Stasiun Tugu.

Sama seperti dua puluh empat jam yang sudah terjadi sebelumnya, tidak ada obrolan panjang lebar antara Sativa dan Mizi seperti biasanya. Meskipun Sativa sudah mengatakan untuk bersikap biasa-biasa saja, Mizi merasa bahwa Sativa memberikan batasan yang jelas kepada Mizi. Setiap kali ada celah dan kesempatan, Sativa secara implisit selalu menegaskan bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sebatas teman. Hal itu sudah tersirat dengan jelas saat Mizi menghampiri Sativa di gerbongnya dan menawarkan Sativa menonton stand up comedy bersamanya di Yogyakarta.

Alih-alih menjawab iya atau tidak, Sativa justru menatap Mizi lekat-lekat lantas berkata, "Intensi lo ngajak gue nonton stand up bareng apa?" tanyanya dengan nada asertif, "Lo nge-follow up gue lagi? Hubungan lo sama pacar lo--"

"Putus, Tiv," balas Mizi saat itu, "gue baru diputusin."

"Terus?"

"Gue diputusin di kereta, Tiv. Di setengah perjalanan menuju Jogja. Gue nggak tahu harus gimana dan ke mana. Kalau gue diputusin di kosan, mungkin gue langsung ke mall buat nonton atau ke kafe buat ngopi. Tapi ini di kereta, Tiv. Gue nggak bisa kabur ke mana-mana."

Melihat tatapan Mizi yang tidak seperti biasanya dan bagaimana ekspresi laki-laki itu dipenuhi kekalutan, Sativa membuang napas pelan. "Kapan acara stand up-nya?"

"Hari Minggu."

"Gue ikut, tapi nggak akan berhenti di Jogja. Gue tetap mau ke Malang dulu. Hari Minggu, kita ketemu lagi di Stasiun Tugu," balas Sativa tegas. "Tapi gue mau menegaskan dua hal ya, Zi, supaya lo nggak salah paham. Pertama, gue mau ikut bukan karena mau nemenin lo. Kedua, gue nggak mau jadi tong sampah lo. Jangan cerita apa-apa ke gue soal gimana dan kenapa lo dan pacar lo putus. Gue nggak mau tahu."

"Oke," balas Mizi pelan, "Tapi, Tiv ... gue boleh ikut lo ke Malang juga?"

Sativa membelakkan matanya. Tanpa mendengar apa-apa, Mizi sudah tahu bahwa itu adalah bentuk penolakan yang sangat jelas.

"Kalau duduk di samping lo sampai Jogja, boleh, Tiv?" tanya Mizi lagi.

"Emang boleh pindah-pindah tempat duduk?"

"Selagi nggak ada yang nempatin, boleh-boleh aja."

Sativa membuang napas dan mengambil tasnya yang diletakkan di kursi kosong. "Selagi lo nggak follow up, oke-oke aja."

Mizi tersenyum kecil, lantas duduk di sebelah Sativa. Sisa lima jam perjalanan itu mereka habiskan dengan diam. Mizi sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu pula Sativa. Tiba di Stasiun Tugu, Mizi turun dari kereta dan Sativa melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, mereka kembali bertemu dan menghabiskan hampir dua puluh empat jam bersama-sama.

"Tiv, gue beneran makasih," ucap Mizi sekali lagi. Langkah kaki mereka berhenti di depan Stasiun Bandung, tepat di pinggir jalan. Beberapa angkutan umum sudah mengetem, siap mengangkut penumpang.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang