Menuju bagian terakhir, kamu boleh putar lagu yang aku attach di mulmed. :')
[ d i a l e k t i v a ]
Dan apa-apa yang tidak kutemukan dalam sastra, dalam barisan aksi massa, aku temukan dalam dirimu:
dalam aksaramu yang membisiki rungu atau senandungnu yang memasuki kalbu.
[ d i a l e k t i v a ]
Jam sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Meskipun peserta debat dan suporter yang hadir mulai kelelahan menunggu debat ini segera selesai, mereka tetap berada di tempat duduknya. Alasannya hanya satu: Adiran, sang ketua himpunan Sastra Indonesia yang berhasil menghapus streotip bahwa "ketua himpunan adalah aktivis yang tertinggal di bidang akademik" bertahan sampai ke babak semifinal. Sebetulnya, berita ini sangat biasa karena sebelumnya Adiran memang sudah sering memenangkan lomba atau mendapat banyak penghargaan. Yang membuatnya menjadi menarik adalah lawan debat tim Adiran pada babak semifinal adalah tim Sativa.
Dan ada Bumi di sana.
Potret Bumi Barameru yang biasanya tersebar di grup fakultas dan dosen dengan memegang toa serta poster saat aksi, kini berganti dengan sosok Bumi yang berdiri di belakang pelantang suara mengenakan jas almamater dengan gagah. Ia terlihat sangat rapi dan berkelas.
Di pengumuman babak penyisihan sebelumnya, tim Adiran dan Sativa sama-sama lolos. Mereka melakukan debat dengan tim dari jurusan lain. Kemampuan tim Adiran tidak bisa diragukan. Semua argumennya kuat, lugas, dan kaya akan data dan dalil. Begitu pula tim Sativa. Bumi masih memainkan perannya dengan baik. Di debat kedua, tim Sativa lagi-lagi mendapatkan mosi yang cukup mengetuk simpati Bumi dan menggeser idealisme laki-laki itu lebih jauh. Topiknya tentang hak-hak buruh. Dan Bumi lagi-lagi membuka sesi debat dengan menyanjung undang-undang yang sudah tepat dan memfasilitasi buruh dengan baik. Padahal, dalam seminggu terakhir, Bumi sudah mengikuti dua kali aksi yang menentang Rancang Undang-Undang Omnibus Law di dua tempat yang berbeda.
"Kak Bumi, apa kabar idealisme yang selama ini Kakak peluk?" Begitulah pertanyaan Sativa saat Bumi mengepal telapak tangannya, persis saat ia selesai mengatakan argumentasi pembukanya.
Bumi hanya menoleh, lantas sama seperti sebelumnya, ia menjawab lirih, "Kewarasan idealisme saya masih terjaga selama kamu ada di sini, Tiv."
Dan untuk kesekian kalinya, Sativa kembali memilih untuk tidak merespons apa-apa. Tim Sativa dan Adiran sama-sama memperlihatkan kemampuan berdebat yang baik hingga pada babak semifinal ini tersisa empat tim. Di babak ini, tim Adiran harus berhadapan dengan tim Sativa. Dua tim lain yang tersisa berasal dari jurusan Sastra Jerman dan Sastra Jepang.
"Perasaan gue aja apa emang ruangan ini lebih rame dari sebelumnya?" tanya Mizi sambil memperhatikan ruangan auditorium yang lebih ramai dari sebelumnya. Sejak sepuluh menit yang lalu, beberapa mahasiswa berdatangan dan duduk di lantai satu dan dua. Dosen-dosen yang hadir pun lebih banyak dari sebelumnya.
"Emang lebih rame. Kan semifinal," jawab Sativa.
"Gila, ya. Ternyata tim kita sampe juga di babak semifinal." Mizi berdecak kagum. "Sama seperti di debat-debat sebelumnya, kalian nggak bakal aneh-aneh, kan?"
Mendengar pertanyaan itu, Bumi menoleh ke arah Mizi. Tatapan mata elangnya menajam. "Yang aneh-aneh itu seperti apa?" tanya Bumi.
Mizi terdiam sejenak. "Ya nggak bikin keributan."
"Oh."
Mata Mizi menyipit dan kembali melirik Bumi. "Oh doang?"
Bumi tidak merespons ucapan Mizi. Ia hanya membolak-balik kertas yang berisi kumpulan mosi dan membaca poin-poin argumentasi yang terdapat di dalamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Ficção GeralIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...