Rehat

6.1K 1.2K 332
                                    

Beristirahatlah--
mimpimu setia, ia tidak akan ke mana-mana.

[ d i a l e k t i v a ]

Seisi kelas duduk melingkar di Taman Widipa. Pak Rino, dosen mata kuliah Pergelaran, ikut duduk di posisi tengah. Setelah melakukan latihan olahvokal dan olahsukma seharian ini, Pak Rino memberikan evaluasi di akhir latihan.

"Saya lihat progres di kelas ini cukup baik, ya. Di kelas lain masih stuck di proses seleksi novel. Beberapa ada yang sudah memilih novel, tapi masih dalam tahap alih wahana. Tapi di kelas ini, sudah casting dan pemilihan pemain." Pak Rino memuji progres signifikan yang dilakukan oleh tim pementasan. "Bisa ceritakan proses kreatifnya kenapa naskah dan casting pemain bisa selesai cepat? Soalnya terakhir kali, sepertinya tim pementasan juga belum terbentuk, ya?"

Bumi yang fokus membaca naskah garapannya mengadahkan kepala. Adiran yang sepekan terakhir mengikuti latihan juga sebetulnya penasaran mengapa langkah Bumi bisa secepat ini. Terakhir kali mereka berbicara lima hari yang lalu, Bumi bahkan baru selesai menentukan tim literasi di kelas. Adiran mendengus kecil. Setelah Sativa, ini kali kedua Adiran merasa kalah bahkan sebelum ia belum benar-benar berperang.

"Dari awal, saya memang terlihat lambat," ujar Bumi pelan. Matanya mengarah kepada Adiran. Lambat. Satu kata itu mulai menganggu benak Adiran, kemudian menariknya ke waktu lima hari yang lalu. "Padahal, saya sedang menggenapkan seribu hitungan di saat orang lain tidak berhitung sama sekali."

Metafora yang diucapkan Bumi menbuat hampir seisi rekan kelasnya terdiam, termasuk Pak Rino. Adiran sendiri tidak begitu memahami ucapan Bumi. Yang ia tahu, Bumi tengah menyindirnya.

Setelah ituu, Bumi berdeham pelan. "Intinya, tim literasi yang dibentuk memang memiliki wawasan sastra dan kapabalitas yang baik dalam mengolah naskah. Kami mendiskusikan beberapa judul novel dan alasan menarik mengapa novel tersebut layak dialihwahanakan. Novel yang direkomendasikan sudah pernah dibaca tuntas oleh tim literasi. Setelah terpilih satu novel, kami langsung menentukan peran dan dialog-dialog inti untuk casting. Sambil menunggu tim literasi mengerjakan naskah, saya melakukan casting."

"Jadi, naskahnya belum selesai?" tanya Pak Rino.

Bumi mengangguk. Adiran yang mendengar itu ikut memusatkan perhatiannya. Ia pikir, naskah pementasan drama kelasnya memang telah selesai digarap. Kesimpulan itu muncul setelah lima hari terakhir ini rekan-rekan sekelas Adiran yang menjadi pemain sudah berlatih secara rutin di Taman Widipa.

"Kira-kira, kapan naskahnya akan selesai?" tanya Pak Rino lagi.

"Saat di pementasan," jawab Bumi yang membuat seisi kelas melirik ke arahnya. Menyadari semua tatapan meminta penjelasan mengarah kepadanya, Bumi menyunggingkan senyum tipis. "Bagi saya, naskah adalah bagian dari pementasan drama yang akan selalu tumbuh. Proses kreatif pembuatan naskah drama akan terus berubah seiring berjalannya latihan ini. Pementasan drama bukan film yang hasilnya bisa diedit. Akan selalu ada improvisasi dari setiap karakter. Sebagai sutradara, saya akan membebaskan setiap karakter memerdekakan dirinya."

Pak Rino mengangguk kecil. "Tapi, drama kelas ini tetap ada naskahnya, kan?"

Bumi terdiam cukup lama sampai akhirnya mengangguk.

Pak Rino membuang napas pelan. "Saya tahu kamu sudah terbiasa menggarap pementasan drama, Bumi. Saya juga percaya kualitas penyutradaraan kamu sangat baik. Tapi saya tidak ingin kejadian tahun lalu terulang lagi."

Adiran tahu maksud ucapan Pak Rino. Tahun lalu, saat Bumi mengontrak mata kuliah pergelaran dan menjadi sutradara, kejadian menghebohkan terjadi dalam pementasan yang Bumi sutradarai. Drama hasil alihwahana dari cerpen Agus Noor berjudul "Perihal Orang Miskin yang Bahagia" memiliki perbedaan dengan latihan-latihan dan gladi yang dilakukan sebelumnya. Menjelang klimaks di akhir pementasan, satu per satu tunawisma Kota Bandung muncul ke atas panggung. Jumlah mereka mencapai dua puluh lima orang dari beragam usia. Masing-masing dari mereka membawa poster berisi protes. Satu poster yang Adiran ingat sangat jelas bertuliskan, "Terima kasih negara karena telah melaksanakan amanah Undang-Undang Dasar Pasal 34 untuk memelihara kami dengan baik. Sekarang, kami berjumlah semakin banyak, beranak-pinak."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang