Ketika seisi dunia sulit memahami, selalu ada satu tempat kembali yang tidak pernah mematahkan ekspektasi:
Dirimu sendiri.
[ d i a l e k t i v a ]
"Tiv, lo marah nggak sama gue?"
Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Mizi membuat fokus Sativa yang sedang memperhatikan penjual nasi kuning membungkus nasi teralihkan. Perempuan itu mengernyitkan wajah, terlihat bingung dengan pertanyaan Mizi.
"Maksud gue, lo marah nggak sama gue karena waktu itu, pas lagi debat, gue cabut?" Mizi mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang lebih jelas. Sebetulnya, sudah sejak lama Mizi ingin bertanya. Hanya saja, waktu itu Sativa langsung diskors dan pesan-pesan Mizi juga tidak dibalas. Beberapa hari setelah Sativa masuk dan kembali menghadiri kelas, Mizi memperhatikan Sativa lebih banyak diam—meskipun sebelumnya Sativa juga begitu. Hanya saja, bagi Mizi, Sativa terlihat berbeda.
"Kenapa harus marah?" Sativa balik bertanya. "Itu kan hak lo, Zi, buat ada di sana atau enggak."
Mizi mengangguk kecil. "Sori, ya, Tiv. Gue pengecut banget, ya?"
Sativa terdiam beberapa saat, kemudian menggeleng kecil. "Itu tindakan yang cukup berani sih," ujarnya, "dan bukan berarti gue dan Kak Bumi yang waktu itu ngomong nggak pengecut. Kayaknya ... kita semua pada dasarnya sama-sama takut."
Mizi ingin menjawab lagi, tetapi penjual nasi kuning yang telah selesai membungkus dua puluh bungkus nasi membuat Sativa cukup sibuk. Melihat itu, Mizi turun dari motornya dan langsung membawa dua kantong berisi nasi kuning itu. Setelahnya, Sativa membayar dan kembali menghampiri Mizi yang sudah duduk di motornya.
"Anak-anak pada nitip apalagi, Tiv?" tanya Mizi.
"Nggak ada. Udah semua. Nasi sama air mineral," balas Sativa.
"Jadi, langsung balik ke kampus, ya?"
Sativa mengangguk dan duduk di jok belakang motor Mizi. Sebagai tim konsumsi, awalnya Mizi pikir ia baru hanya bekerja mendekati hari-H pementasan drama. Akan tetapi, Adiran mengatakan agar beban tugas semua orang di tim produksi sama. Tim konsumsi bertanggung jawab memfasilitasi makanan selama latihan setiap harinya. Mendengar itu, Mizi sudah tahu bahwa pekerjaannya di tim konsumsi tidak pernah mudah. Ia harus lebih sigap dan bangun lebih pagi untuk memesan makanan teman-temannya saat latihan—seperti hari ini.
Mizi melajukan motornya. Jarak kampusnya dengan pusat kuliner yang Mizi datangi bersama Sativa tidak jauh. Ia hanya membutuhkan waktu tujuh menit. Dari kaca spion, Mizi melihat Sativa memejamkan mata. "Lo ngantuk, Tiv?" tanyanya, berusaha mengisi keheningan, "kurang tidur lo?"
Sativa membuka matanya, kemudian terdiam. Tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng. Alih-alih menjawab pertanyaan Mizi, Sativa justru bertanya. "Lo pernah merasa kalau waktu berjalan cepat banget nggak sih, Zi?" tanya Sativa, "kayak ... dua puluh empat jam itu kurang?"
Mizi tersenyum kecil. Ia tidak begitu dekat dengan Sativa. Akan tetapi, Mizi tahu bahwa setiap kali ia mengobrol dengan perempuan itu, obrolan mereka akan mengalir kepada hal-hal yang membuat Mizi tertarik. "Dulu sering," jawab Mizi, "sekarang gue udah tahu gimana menyiasatinya."
Tatapan Sativa yang semula melirik jalanan atau gawai tertuju ke arah kaca spion. Ia menatap pantulan wajah Mizi di sana. "Gimana?"
"Lo tahu return trip effect?"
Sativa mengangguk. "Efek perjalanan pulang. Sensasi ketika lo merasa waktu perjalanan pulang lebih cepet, padahal jaraknya sama."
"Lo pernah buktiin sendiri nggak, Tiv?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektiva
Aktuelle LiteraturIni cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dosen, yang menggadaikan ungkapan agen of change sebagai alasan bolos kuliah, yang menyumpal telinganya...