Mengapa?

8K 1.5K 315
                                    

Di semesta kepalaku, kamu menciptakan ribuan mengapa dan tidak menjawab barang satu karena.
Konstelasiku menjadi rumit.
Orbitnya dilalui ribuan pertanyaan yang membentuk satu tanda tanya besar:

Mengapa harus kamu?

[ d i a l e k t i v a ]

Satu notifikasi WhatsApp masuk saat Sativa sedang membaca ebook di sudut kamar indekosnya. Sativa menggulirkan layar gawainya ke bawah untuk mengecek pesan apa yang masuk dan siapa yang mengirimkannya. Pesan itu dikirim oleh seseorang yang nomornya tidak ia simpan di kontak teleponnya. Pesannya hanya lampiran file bertuliskan "TEKNIS DAN MOSI DEBAT SELEKSI FAKULTAS". Sativa mengangguk. Tanpa mengecek pesan dan menghafal nomornya, Sativa tahu itu adalah Adiran. Ia kembali menggulirkan layar gawainya ke atas dan melanjutkan aktivitas membaca bukunya. Beberapa detik kemudian, satu pesan WhatsApp kembali muncul. Masih dari nomor yang sama. Sativa berdecak, kembali membaca pesan melalui bilah notifikasi.

[TEKNIS DAN MOSI DEBAT SELEKSI FAKULTAS.PDF]
[Itu juknis dan mosi debat yang dikirimin Bu Agni.]
[Gue baru dikirimin tadi. Jadi baru gue forward ke lo.]

Sativa menunggu selama beberapa detik untuk memastikan pesan itu tidak muncul kembali. Setelah itu, ia kembali membaca ebook di gawainya. Lima menit kemudian, notifikasi WhatsApp kembali muncul di layar gawainya.

[Tiv, lo serius mau ikut debat?]
[Sama Netta dan Bumi? Lo nggak salah pilih partner?]

Sativa membuang napas. Agenda membacanya rusak dengan desakan pesan Adiran. Sebetulnya ia bisa saja mematikan data seluler dan fokus membaca. Akan tetapi, membaca tanpa mendengarkan playlist instrumen musik di Spotifynya membuat Sativa merasa hampa. Sativa menutup ebook di gawainya dan membuka WhatsApp. Ia membuka pesan dari Adiran, mengunduh file mosi debat yang dikirimkan oleh laki-laki itu, kemudian membaca sekilas mosi dan teknis pelaksanaan debat yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Belum sampai halaman terakhir, satu pesan dari Adiran kembali muncul.

[Tujuan lo ikut debat ini apasih? Lo mau bawa nama baik kampus atau cuma mau menantang gue?]

Lo yang menantang gue, Adiran. Setelah itu, Sativa tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia mengetikkan balasan di pesan pertama yang Adiran kirimkan.

[Makasih.]

[Cuma itu balasan lo?]

[Lo mengharapkan gue balas apa lagi?]

[Gue nanya, Tiv. Lo nggak baca? Apa lo menghindari pertanyaan gue?]
[Kenapa? Nggak punya jawabannya?]

[Oh, dari tadi lo nanya?]

[Bisa nggak lo nggak jawab pertanyaan gue dengan pertanyaan lagi? Kenapa lo bikin ribet sih?]

[Gimana gue mau jawab kalau lo nggak nanya?]

[Tiv, lo serius mau ikut debat?]
[Sama Netta dan Bumi? Lo nggak salah pilih partner?]
[Tujuan lo ikut debat ini apasih? Lo mau bawa nama baik kampus atau cuma mau menantang gue?]
[Cuma itu balasan lo?]
[Gue nanya, Tiv. Lo nggak baca? Apa lo menghindari pertanyaan gue? Kenapa? Nggak punya jawabannya?]
[Gue nanya sebanyak ini dan lo nggak lihat satu pun?]

[Adiran, dari tadi lo nggak nanya.]

[Lo ngajak ribut.]

Sativa melihat Adiran mengetikkan balasan, kemudian berhenti, mengetikkan balasan lagi, kemudian berhenti lagi. Dalam hening indekosnya, Sativa tertawa kecil. Ia hanya membalas dua kalimat dengan cepat, tetapi Adiran butuh waktu lama untuk sekadar membalasnya. Sativa yakin, saat ini Adiran sedang menyusun jawaban yang tidak akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Beberapa detik kemudian, yang muncul di layar gawai Sativa adalah panggilan masuk di WhatsApp dari Adiran. Sativa terdiam, berpikir sejenak, kemudian mengangkat panggilan telepon Adiran.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang