Bus Kota dan Kereta

3.7K 929 101
                                    

"Tolong dong kalian semuanya serius. Ini udah H-3 pergelaran dan nggak ada progres yang signifikan. Masih banyak banget jobdesc yang belum beres. Sadar diri aja, sih, siapa yang selama ini kurang atau bahkan nggak perform sama sekali. Lepas tanggung jawab. Susah diajak kerja sama. Seenggaknya kalian serius lah buat nilai kalian masing-masing. Jangan makan nilai buta."

Sejak lima belas menit yang lalu, Adiran sudah berbicara panjang lebar. Alih-alih evaluasi, rangkaian ucapan Adiran lebih terdengar seperti luapan rasa marah. Sejak tadi latihan dimulai siang hari, Adiran sudah banyak berkomentar dengan nada menyudutkan. Di rapat divisi juga sama. Ia terlihat benar-benar kesal. Setiap jawaban yang dikeluarkan oleh rekan-rekannya selalu berujung evaluasi negatif.

"Gila sih mood Adiran jelek banget hari ini. Dari pagi pas masuk kelas dia emang udah kelihatan bete banget. Dari awal juga ngegas terus," ujar Netta kepada Sativa di sela-sala evaluasi, "orang ambis kalau kalah bisa tantrum kayak gitu ya, Tiv?"

Sativa ikut memperhatikan Adiran. Dari tadi, Sativa juga sadar bahwa Adiran sedang berada dalam kondisi mood yang buruk. Sativa cukup paham penyebabnya. Adiran kembali dari Jakarta tanpa membawa piala--dan ini kali pertama bagi Adiran.

"Tapi nggak aneh, sih. Adiran kan emang gitu. Nilai A- aja sibuk minta tugas tambahan supaya jadi A. Gila, sih. Capek banget gue kalau harus hidup kayak gitu."

Sativa tidak merespons apa-apa. Ia sudah memutuskan untuk bersikap pasif saja. Ia tidak ingin memprotes, menyela, atau beradu argumen dengan Adiran.

Setelah selesai memberikan evaluasi, semua orang bergegas meninggalkan Taman Widipa. Sativa ikut berdiri. Ia ingin segera pergi, tetapi langkahnya justru menuntun Sativa berjalan ke arah Adiran.

"Adiran." Sativa memanggil laki-laki itu.

Adiran mengadahkan kepalanya, tetapi tidak menjawab apa-apa.

"Hari ini jadi jalan?" tanya Sativa. Sebelum berangkat ke Jakarta, Adiran memang berkata ingin mengajak Sativa jalan bersama. Adiran berkali-kali mengingatkan Sativa untuk mengosongkan waktunya sore hingga malam ini.

"Lihat sikon lah, Tiv. Emangnya gue kelihatan punya waktu?" Adiran balas bertanya dengan nada meninggi.

Sativa mengangguk kecil. Ia merapatkan jaketnya. Tatapannya mengarah ke mata Adiran, lalu Sativa berkata, "Gue hampir lupa kalau lo mahluk tersibuk di dunia," ujar Sativa, "tapi ... waktu lo sebenernya habis dipakai apa, sih, Ran?"

"Dipake buat ngejar tujuan gue, lah, Tiv. Apa lagi?"

"Emang tujuan lo apa?"

Adiran terdiam. Rasanya itu pertama kali ada seseorang yang bertanya kepada Adiran mengenai tujuannya.

"Jadi yang terbaik," balas Adiran setelah diam cukup lama.

"Yang terbaik itu indikatornya apa?" Sativa bertanya lagi, "selalu jadi yang nomor satu?"

"Iya."

Sativa membuang napas. "Terus kalau udah jadi yang nomor satu, lo happy atau justru malah merasa pressure-nya lebih tinggi?"

"Gue merasa--bentar, kenapa lo jadi nanya-nanya soal tujuan hidup gue?"

"Emang lo punya tujuan hidup?" Sativa lagi-lagi balik bertanya, "bukannya selama ini lo menjalankan tujuan hidup ayah lo?"

Mendengar ucapan itu, dada Adiran terasa sesak. Ia ingin membantah ucapan Sativa, tapi ia justru tidak bisa mengatakan apa-apa. Dari pandangan Sativa, ia melihat mata Adiran menyiratkan tatapan kemarahan ... juga kesedihan yang berusaha disembunyikan.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang