Dialektika

16K 1.7K 259
                                        

yang habis dibawa masa hanyalah kata:
dialek kita tetap ada
melekat pada setiap sudut rasa
menjarah jengkal demi jengkal pikiran kita

dalam diektika,
aku bertaruh akan selalu ada kita

selalu.

[ d i a l e k t i v a ]

Seisi kelas hening tatkala kedua pasang mata itu beradu. Pancaran keduanya jelas berbeda, berbanding terbalik, dan penuh kontradiksi. Yang satu menatap tajam disertai kedua alis yang mengerung sempurna, sedangkan yang satu lagi menatap santai dengan alis naik sebelah-menantang dalam diam. Yang satu meletup penuh amarah, sedangkan yang satu lagi tersenyum mengejek-siap dengan amunisi kata yang akan dikeluarkannya. Yang satu mengepal tangan di atas meja, sedangkan yang satu lagi hanya memainkan pulpen dan menyempurnakan sketsa yang dibuatnya.

Seisi kelas hari ini dibuat bungkam oleh permainan kata-kata. Jelas lebih dari sekadar debat. Apa yang tengah mereka dengar bukan hanya soal sebuah fakta yang dianalisis dan dibawa dalam ranah akademis. Ada retoris yang baru saja terpilin dengan sempurna lewat mulut seorang perempuan yang selama tiga semester terakhir lebih banyak diam dan tenggelam dalam tumpukan sketsa yang selalu ia bawa. Ada argumentasi yang berubah menjadi seni tatkala opini-opini dikemas menjadi metafora dan satire. Terbentuk sebuah paradigma baru: bahwa yang diam bukan berarti penuh kelam, juga yang biasa selalu berbicara bukan berarti paham segalanya.

Seisi kelas hari ini terpana menatap sosok baru yang kemungkinan besar akan menjadi primadona-menggantikan sang pangeran kampus yang selalu dielu-elukan oleh dosen, para orang tua, dan mahasiswa lain karena segudang prestasinya.

"Saudari Tiva, saya ingatkan sekali lagi bahwa saat ini kita sedang berdiskusi mengenai masalah pendidikan di Indonesia, bukan membuat puisi dan bermain kata-kata dengan analogi. Hal itu hanya menunjukkan bahwa apa yang Anda katakan tidak lebih dari sekadar omong kosong saja. Kita perlu data, hasil survey, dan merujuk pada konstitusi saat mengemukakan argumentasi." Adiran Kiluan kembali menegaskan ketidaksukaannya kepada Sativa Airish Cantigi-lawan bicara diskusinya sejak tiga puluh menit yang lalu.

Sativa-sama seperti sebelumnya-hanya merespons ucapan Adiran dengan tawa kecilnya. Dan Adiran yang melihat itu, sekali lagi merasakan amarah meletup di dadanya. Bukan karena Sativa terus-menerus membalas argumennya-justru Adiran sangat suka berdebat. Yang membuat Adiran tersinggung adalah cara Sativa mengemukakan pendapatnya yang frontal dan kekehan tawanya yang terdengar sangat menjengkelkan.

Semua ini berawal dari dosen mata kuliah logika berbahasa yang memasuki kelas dan memulai diskusi dengan mengutarakan topik yang sedang hangat di kampus: tentang Bumi Barameru, mahasiswa yang status semester delapannya sedang digantung karena pihak kampus meminta Bumi untuk mengeluarkan diri. Hal ini terjadi lantaran nilai Indeks Prestasi Semester Bumi sangat rendah dan tidak memenuhi syarat untuk mengontrak mata kuliah di semester selanjutnya. Meskipun isu lain yang beredar adalah pihak kampus sudah tidak tahan dengan tindakan Bumi yang kerap disinyalir memprovokasi mahasiswa lain untuk melakukan tuntutan kepada pihak kampus-terutama rektor-agar transparan mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan kebijakan parkir bebayar yang direncanakan sejak sepekan yang lalu.

Seisi kelas sudah tahu siapa itu Bumi Barameru. Selain karena laki-laki itu satu dua kali memasuki kelas untuk mengontrak ulang mata kuliah karena tidak lulus di semester sebelumnya, nama Bumi Barameru sangat terkenal di Universitas Negeri Pallawa. Ia selalu berada di garda terdepan saat mengumpulkan masa untuk menggelar aksi di depan gedung rektorat atau melancong ke Istana Negara untuk menyambung kegelisahan mahasiswa dan masyarakat. Tulisan kritikannya terhadap kampus dan pemerintah memenuhi rubrik opini di dalam koran lokal kampus atau daerah. Beberapa mading di gedung Fakultas Bahasa dan Sastra juga meninggalkan jejak-jejak puisi Bumi dengan tema yang tidak pernah tuntas ia tulis: suara-suara ketidakadilan, keinginan perubahan, juga harapan-harapan di masa yang akan datang.

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang