38|| Pengakuan

337 54 34
                                    


Jaemin mengetuk-ketukkan jari jari tangan pada meja. Suasana kelas sepi, sepertinya ia harus melewatkan jam istirahat. Tepat saat bel berbunyi, Mark menarik Haechan entah kemana sedangkan Jeno mengatakan harus mengerjakan tugasnya yang tertunda.

"Kau tak lapar? Semua orang biasanya kekantin saat jam istirahat"

Jaemin menoleh ke asal suara. Ah, ia lupa. Kelas memang sepi, menyisakan ia yang terperangkap bersama renjun di kelas itu. Namja manis itu berbicara tanpa menoleh ke arahnya, Renjun tengah bertopang dagu dengan tatapan yang terarah pada jendela. Jaemin tak mengerti hal menarik seperti apa yang ada diluar sana. "Kau sendiri?"

Renjun melirik ke arah Jaemin, tak menyangka bahwa namja dengan senyum menawan itu akan menanggapi pertanyaannya. "Tidak. Aku sudah delapan kali datang ke kantin dan tidak menyukai makanan disana"

"Jika tidak suka seharusnya kau tak datang lagi kesana setelah kunjungan pertama"

Renjun tersenyum tipis. "Aku datang karena seseorang"

Alis Jaemin menukik. "Siapa?"

Renjun berusaha mengulum senyumannya. "Kau penasaran?" tanyanya jahil.

Jaemin berdeham, berusaha mengubah ekspresinya menjadi datar. "Tidak. Lupakan"

Kini Renjun tak sanggup lagi menahan senyumannya. Ekspresi Jaemin justru terlihat lucu dimatanya. "Kau lebih cocok tersenyum daripada berekspresi datar. Aku biasa ke sana karena Jaem— maksudku Park Jaemin memaksaku kesana"

Jaemin hanya mengangguk-angguk paham. Lagi-lagi Park Jaemin. Diam-diam ia menyetujui perkataan Renjun. Wajah datar memang tak cocok untuknya. Percayalah, sejak tadi ia berusaha menahan diri untuk tak tersenyum atau membalas ucapan basa basi dari orang lain agar terlihat keren. Ia merasakan wajahnya mulai kaku karena menahan senyum. Semua itu Jaemin lakukan karena orang-orang menganggapnya seperti Park Jaemin. Mereka bilang Park Jaemin itu murah senyum dan ramah, jadi Jaemin memutuskan untuk bersikap berbeda agar tak lagi disebut 'mirip'.

"Kau masih membenciku Jaem?" tanya Renjun pelan.

"Aku tak bisa membenci orang lain. Aku hanya marah padamu"

Renjun menghela napas. Hatinya sedikit lega mendengar penuturan Jaemin. "Lalu apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkanku?"

"Tidak ada" balas Jaemin acuh. "Karena kecelakaan itu, aku tak bisa memainkan piano untuk sementara sampai terapiku selesai"

Renjun terdiam sejenak memikirkan ucapan Jaemin. Tiba-tiba saja ia berdiri, membuat namja tampan di depannya terlonjak kaget. "Ayo ikut aku" ujarnya singkat sebelum berlalu pergi.

Jaemin tak punya pilihan selain mengikuti Renjun. Lagipula mau apa ia dikelas sendirian? Ada rumor bahwa sekolah yang ia tempati terutama kelasnya itu banyak hantunya, dan sebagai anak baru yang tak tau apa-apa ia termakan rumor tersebut. Mengikuti Renjun adalah salah satu cara aman baginya untuk menghindar dari hantu-hantu itu.

Mereka berjalan beriringan melewati koridor yang agak ramai karena dihuni oleh beberapa murid yang nongkrong saat jam istirahat. Kali ini Jaemin memutuskan untuk tersenyum dan membalas sapaan dari beberapa murid karena tak tahan  sedang Renjun disebelahnya tetap diam. Fokus dengan jalannya.

"Lihatlah! Mereka bersama"

"tak ada Park Jaemin, apakah Renjun kini mendekati Na Jaemin. Sungguh tak tau malu"

"lihatlah si sombong yang menganggap dirinya lebih hebat dari Byun Baekhyun"

Jaemin melirik ke arah Renjun yang tampak santai menanggapi cacian yang dilontarkan untuknya. Sejak kejadian tadi pagi, Jaemin jadi berpikiran bahwa Renjun di benci oleh seluruh murid di sekolah. "Sepertinya kau sangat kebal dengan cacian itu"

The Crossing (CHANBAEK || JAEMREN) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang