47|| Surat

230 47 8
                                    


"Suaramu masih bagus seperti biasanya"

Nyanyian Haechan terhenti. Namja berkulit tan itu dengan cepat menoleh ke asal suara dan mendapati Jaemin yang bersandar pada pintu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau mau berlatih di sini bersama Renjun? Si bungsu Byun itu mulai mahir memainkan piano sama sepertimu" Haechan terkekeh pelan sembari membereskan kertas bertuliskan not-not lagu.

"Kau mau kemana?" bukannya merespon pertanyaan Haechan, Jaemin justru balik bertanya. Kini ia berjalan mendekat dan mengambil selembar kertas yang terjatuh. "Kita pernah menyanyikan ini bersama. Apa kau ingat"

Haechan mengangguk cepat. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. "Tentu saja aku ingat. Kita menyanyikan di pentas seni saat masih sekolah dasar"

Jaemin terkekeh. "Ingatanmu tajam juga" kini Jaemin mengambil posisi duduk berhadapan langsung dengan grand piano yang biasa ia mainkan.

"Aku harus pergi. Sebentar lagi Renjun datang. Aku tak mau mengganggu latihan kalian. Lagipula kau pasti sudah menantikan ini" Haechan mengedipkan salah satu matanya dan tersenyum nakal, membuat Jaemin mendengus kesal.

Jaemin menekan asal salah satu tuts piano, membuat suara nyaring melingkupi ruang musik. "Renjun tidak akan datang. Salah satu guru memanggilnya tadi. Aku datang ke sini untuk menemuimu"

Gerakan tangan Haechan yang hendak membuka pintu terhenti. Apa ia tak salah dengar? Untuk apa Jaemin menemuinya? "Aku?"

Namja pemilik senyum menawan itu berdecak. "Kita jarang sekali berbicara empat mata akhir-akhir ini. Kita sudah lama tak berlatih bersama. Kau tidak sedang menghindariku kan?" Jaemin kembali memainkan nada lagu yang terlintas dibenaknya.

Haechan tersenyum kecut, kembali berbalik dan duduk disebelah Jaemin. "Tidak. Kenapa aku harus menghindarimu?"

Jaemin mengangkat bahu. Selama satu menit kedepan hanya denting piano yang terdengar memenuhi penjuru ruangan. Baik Haechan dan Jaemin tak ada yang berbicara. Entah mengapa Haechan jadi merasa canggung.

"Soal keluarga kim..." Jaemin menghentikan permainannya membuat hening sejenak. "Bagaimana pendapatmu?"

Haechan melirik Jaemin yang menghela napas sendu. "Mereka baik. Tidak ada salahnya kau menerima mereka" Namja berkulit tan itu tertawa pelan saat melihat perubahan raut wajah Jaemin. Jaemin terlihat tak setuju dengan apa yang ia katakan. "Pendapatku tak penting. Kenapa kau tidak memperhatikan sendiri saja?"

"Pendapatmu itu penting dan akan selalu penting Hyuck" Senyum Haechan luntur saat mendengar nada serius dalam ucapan Jaemin. "Sejak dulu pendapat kalian itu penting bagiku, saat Jeno tak bisa memberikan pendapatnya bukankah kau yang menjadi prioritas?" Jaemin terlalu peka untuk menyadari perubahan sikap Haechan. Saudara sekaligus sahabatnya itu lebih banyak diam akhir-akhir ini. Jaemin merasa bersalah dan rasa bersalah itu makin besar ketika ia mendengar percakapan antara Haechan dengan Renjun beberapa hari yang lalu. "Kau tau kan aku selalu membutuhkanmu"

Sudut bibir Haechan tertarik membentuk sebuah senyuman. Jaemin tetaplah Jaemin. Entah siapa yang kini merada sisisi namja itu, Jaemin akan selalu kembali padanya. "Menurutku tidak ada salahnya kau menerima mereka. Bukankah ini keinginanmu sejak awal? Bertemu dengan orang tua kandungmu? Mereka tak sepenuhnya salah Jaem. Kalau aku jadi mereka aku juga akan diam. Kau pasti akan berpikir mereka gila jika mereka jujur saat pertemuan pertama. Setiap orang tua pasti ingin memeluk anak mereka, memberinya perhatian dan kasih sayang. Apa kau tidak mau memberikan kesempatan itu pada orang tuamu?"

Jaemin termenung. Ia tidak seperti Jeno yang sudah mengenal keluarga Kim sejak lama. Ia tak seperti Jeno yang telah mengenal kehidupan orang-orang kaya. Sejak kecil Jaemin terbiasa hidup susah. Secara otomatis ia terlatih menjadi orang yang dipimpin, bukan memimpin. Jaemin bahkan sudah lupa bagaimana cara hidup keluarga terpandang saat masih berada dalam ruang lingkup keluarga Park. Jaemin tak mau menjadi aib karena bertingkah norak.  "Aku hanya merasa tak pantas. Saat melihat Jeno, Joonmyeon hyung, Tuan dan Nyonya Kim aku merasa tak percaya diri. Aura mereka itu berbeda, sedangkan aku? Jika diibaratkan aku adalah kerikil di antara serbuk berlian"

The Crossing (CHANBAEK || JAEMREN) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang