50|| Kehilangan

458 50 29
                                    

Sehun yang sejak tadi melihat kejadian itu hanya bisa menghela napas panjang. Ia merasa senang dan sedih. Senang karena ia yang harus menjemput Luhan saat kekasihnya berpulang dan sedih karena Luhan nemiliki kehidupan yang singkat. Dihampirinya arwah Luhan yang terlihat kebingungan dengan keadaan disekitarnya.

"Xi Luhan..." panggil Sehun pelan membuat sosok yang dipanggil namanya menoleh. "Lahir 20 April 1920, meninggal tanggal 9 Agustus 20xx. Apa kau menerima kematianmu?"

Luhan yang tadinya terkejut kini tersenyum simpul. Rupanya Tuhan masih berbaik hati padanya. Disaat-saat terakhir hidupnya, Tuhan mempertemukannya dengan Sehun. "Aku menerima kematianku" ujarnya pelan. "Kau kah itu Sehunie? Apa sekarang kita bisa bersama?" tanya Luhan dengan mata berkaca-kaca.

Sehun tersenyum. "Ya, sekarang kita bisa bersama. Tapi, bisakah kau menungguku sebentar. Ada seseorang yang harus aku jemput sebagai tugas terakhirku"

Luhan mengangguk. Tak apa bila ia menunggu. Asalkan bersama Sehun baginya itu tak masalah. Siapa?

.

Haechan tak mengerti. Tadinya semja berjalan baik-baik saja. Ia datang untuk merayakan kebahagaian saudara-saudaranya. Kenapa ia harus dihadapkan pada kerusuhan ini?

"Jika ada yang harus mati maka itu bukan putraku tapi kalian"

Haechan menegup ludah gugup. Ia tak bisa kemana-mana karena Mark menggenggam erat tangannya.

"Tidak! Jaemin!"

Namja berkulit tan itu terbelalak saat melihat Jaemin yang berlari mendekati Renjun. Apa saudaranya itu sudah gila? Secinta itukah ia dengan Renjun hingga nekat menjadikan nyawanya sendiri sebagai taruhan? Haechan merasa resah. Semua pemikiran buruk hinggap di kepalanya. Kenangan buruk itu kembali, saat Jaemin terbaring bersimbah darah di hadapannya, saar Jaemin tertidur bertahun-tahun lamanya. Tidak, hal itu tak boleh terulang. Apa yang harus ia lakukan?

"Selamat tinggal Renjun..."

Kali ini Haechan tak bisa diam saja. Entah apa yang merasukinya, namja berkulit tan itu melepas paksa pegangan Mark lalu berlari dengan kaki tertatih mendekati Renjun. Ia memang tak tau apa yang akan terjadi setelahnya. Tapi Haechan rasa ia tak akan menyesali keputusannya.

"Aku berjanji akan melindungi saudaraku" Janji itu, Haechan sudah berjanji pada eommanya untuk melindungi Jeno dan Jaemin apapun yang terjadi.

Dor!

Tepat saat Haechan berdiri dihadapan Renjun, peluru itu datang menembus dada kirinya. Haechan sempat terdiam ditempatnya sebelum akhirnya terjatuh. Tidak sakit, hanya saja ia merasa kesulitan bernapas, seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya.

"Donghyuck!"

"Haechan!"

Samar-samar Haechan dapat mendengar suara beberapa orang yang memanggil namanya. Namja berkulit tan itu tersenyum saat Jaemin bersimpuh memangku kepalanya, Jeno menatapnya khawatir serta Renjun dan Mark menggenggam telapak tangannya. Haechan tersenyum tipis. Tidak apa. Jaemin mencintai Renjun dan Jeno menyukai Renjun. Bukankah melindungi Renjun sama saja denga melindungi saudara-saudaranya?

"Dasar bodoh. Kau seharusnya tetap disisiku. Kenapa ambulans belum datang juga!" samar-samar Haechan dapat mendengar Mark yang merutuk. Kini Haechan yakin jika pemuda Lee itu menyukainya.

"Haechan-ah... Maafkan aku... Bagaimana ini..." Renjun menangis tersedu, pegangannya pada telapak tangan Haechan semakin erat.

Haechan dapat merasalan napasnya yang kian memberat. Apa begini rasanya saat nyawanya berada diujung tanduk? "Mark..." dari sekian banyak nama, kenapa harus nama Mark yang ia sebut?

The Crossing (CHANBAEK || JAEMREN) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang