28|| Waktu

305 52 13
                                    


Taeyong menggeliat, meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Bagaimana tidak? Seharian ini yang ia lakukan hanya duduk sambil menunggu pasien yang bergiliran keluar masuk ruangan untuk berobat atau sekedar konsultasi.

Tok tok tok...

Taeyong mengernyit. Bukankah sudah tak ada pasien lagi? Lalu siapa?

Ceklek

"Hyung..."

Senyum Taeyong mengembang begitu melihat siapa orang yang masuk keruangannya. "Jenoya... Ada apa? Apa kau sakit. Kemari, duduklah!"

Pemuda pemilik eyes smile itu mengangguk canggung lantas duduk berhadapan dengan Taeyong. Ah, kenapa ia jadi gugup seperti ini, padahal ia sering bertemu dengan Taeyong.

"Ada apa?"

Jeno menghela napas. Baiklah, sudah saatnya ia mengakhiri sandiwaranya "Hyung..." panggilnya pelan, ditatapnya Taeyong yang senantiasa memperhatikan dengan tatapan sendu. "Bagaimana keadaannya?"

Alis dokter muda itu menukik. "Siapa 'Dia' yang kau bicarakan?" tanyanya.

Jeno memaikan kuku Jari tangannya. "Saudara kembarku, Jaemin... Bagaimana keadaannya saat ini?"

Seketika Taeyong mematung mendengar ucapan Jeno. "Kau...." demi apapun Taeyong tak tau perasaan apa yang tengah melanda hatinya saat ini. Senang, sedih, sesak, semua bercampur menjadi satu.

"Maaf..." Kata Jeno lirih. "Aku berpura-pura hilang ingatan dan mengabaikan kalian—"

Srekk...

Taeyong tiba-tiba berdiri dan membawa Jeno dalam pelukan hangatnya. "Jenoku kembali..." isaknya pelan.

Jeno membalas pelukan Taeyong. Sudah lama ia tak merasakan pelukan hangat itu. Pelukan yang dulu selalu ia dapatkan ketika sedih ataupun gembira. Hari itu, Jeno menumpahkan segala isi hatinya yang sudah ia tahan selama bertahun-tahun.

.

.

Disinilah mereka berada. Disebuah ruangan bernuasa serba putih dengan seseorang yang tebaring lemah dikelilingi oleh berbagai alat medis.

"Sudah lima tahun. Aku tidak mengerti, apakah mimpinya begitu indah sampai tak mau membuka matanya barang sebentar" ujar Taeyong lirih.

Jeno mendekat, menatap nanar tubuh saudara kembarnya yang begitu pucat dan kurus. Rasa menyesal kembali memenuhi relung hatinya. Seandainya saja ia tak egois dan memilih untuk kembali ke rumah harapan. Bagaimana bisa ia bersenang-senang dengan harta dan keluarga barunya sementara saudara kembarnya tengah berjuang untuk hidup?

"Kau tau dokter Zhang? Bahkan dokter hebat sepertinya saja sudah menyerah. Kami akan memantau kondisinya. Jika kondisinya tak kunjung membaik selama satu minggu ini, kami terpaksa harus merelakan Jaemin pergi—"

"Dia pasti akan bangun hyung..." potong Jeno. "Bisa kau tinggalkan kami sebentar?" pintanya pelan.

Taeyong menghela napas lantas mengangguk. Mereka adalah saudara dengan ikatan darah. Jeno pasti butuh waktu dan privasi untuk berbicara dengan Jaemin. "Baiklah. Katakan jika terjadi sesuatu" Taeyong menepuk pelan pundak Jeno sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.

Suara monitor kini mendominasi ruangan bernuasa serba putih itu. Jeno menggenggam lembut salah satu tangan Jaemin yang tak terpasang jarum infus.

Namja yang biasanya suka sekali memamerkan senyumannya kini menunduk menahan tangis. Padahal beberapa hari yang lalu ia baru saja mengata-ngatai suho bahwa namja itu tak pantas disebut sebagai seorang kakak. Tapi, lihatlah! Bukankah seharusnya Jeno yang lebih tidak pantas disebut sebagai seorang kakak? Apa ini hukuman untuknya?

The Crossing (CHANBAEK || JAEMREN) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang