Adaptasi #19

499 104 56
                                    

Luka hampir saja menyesali keputusannya untuk setuju mencalonkan diri menjadi Presiden Mahasiswa setelah dibuat malu oleh kehebohan yang diciptakan oleh teman-temannya. Bagaimana tidak malu, belum juga resmi mendaftar menjadi calon, dia sudah dipanggil dengan label Capres Nomor Satu dan dengan sengaja dielu-elukan sebagai calon terbaik untuk periode selanjutnya oleh anak-anak mesin tepat di depan orang-orang BEM. Sangat memalukan, dan juga kekanakan karena Luka tahu himpunan mesin sengaja memanas-manasi badan eksekutif yang sejak dulu selalu bersitegang dengan mereka.

Mungkin jika Luka tidak tahu bahwa Kanaka juga mencalonkan diri menjadi Presma, dia sudah pasti akan mengundurkan diri karena kelewat malu dengan kelakuan teman-temannya. Namun untungnya—atau mungkin tidak—dengan munculnya nama Kanaka sebagai rivalnya membuat Luka merasa akan lebih memalukan jika dia mengundurkan diri dari pencalonan.

Siapapun bisa merasakan suasana yang mendadak menjadi sengit antara anak mesin dan BEM (yang mayoritasnya adalah anak sipil), bahkan ikon pemersatu mereka juga ikut-ikutan dalam persengitan tersebut. Dan tentu saja, ikon pemersatu yang dimaksud adalah 6Days, yang sekarang sedang beradu mulut seperti anak kecil yang saling memamerkan mainan baru mereka.

"Jelas Kanaka lah yang menang, dilihat dari berbagai aspek jelas dia lebih mumpuni buat jadi Presma." Dino yang menganggap dirinya sahabat dari Calon Nomor Dua, merasa tak bisa hanya diam setelah melihat Brian sedari tadi mengelu-elukan Luka di hadapan 6Days. "Prestasi dan pengalamannya banyak, pernah jadi ketupel PolyFair, utusan BEM pula."

"Luka juga pernah jadi ketupel HMM FAIR." Sanggah Brian. "Dan dia adalah orang pertama yang menentang pihak PolyFair mengenai permasalahan tema, memperjuangkan hak tiap-tiap himpunan untuk maju dengan temanya masing-masing."

"Kanaka sering ikut olimpiade, lebih pintar dari Luka." Dino masih tak mau kalah. "Seorang pemimpin itu harus pintar."

"Gue pernah dengar Luka dulu pernah ikut olimpiade matematika waktu SD." Ucap Brian dengan asal, yang kemudian mendapat dengusan keras dari Raka.

"Ck, abangnya lo?" Sewot Raka. "Dia pernahnya ikut taekwondo."

"Cie, abang kandungnya marah." Goda Sienna.

"Dih, najis."

"Najis tapi tim Luka juga lo, Bang." Kata Dimas selaku tim netral. "Malah pake belain segala lagi."

"Belain apaan anjir?!" Elak Raka. "Jelas gue tim Kanaka!"

"Oh, bukan Luka nih?" Tanya Dimas mencoba memastikan. "Tapi lo abangnya, gimana sih?"

"Ya terus kalo gue abangnya?" Tanya Raka dengan sengit. "Emang ada hukum yang mewajibkan orang milih keluarganya di pemilihan umum? Emang lo yakin kemaren Kaesang coblos Pak Jokowi bukannya Pak Prabowo? Gimana kalo ternyata selama ini dia diam-diam ngefans sama rival bapaknya?"

"Yakin lo nggak di pihak adek lo sendiri?" Jeje tiba-tiba bertanya, nadanya terdengar serius.

"Iya." Jawab Raka dengan yakin dan singkat. "Emang kenapa?"

Jeje menggeleng. "Nggak papa, tapi gue sih lebih ke Luka."

"Anjir, plot twist!" Dino dan Brian berseru kaget.

"Seharusnya lo tim Kanaka dong, Bang! Kalian satu Departemen di BEM, lebih tahu gimana dia orangnya." Kata Dino. "Kok malah ke Luka yang jelas-jelas beda bendera sama lo?"

"Justru karena gue tahu gimana Kanaka, makanya gue lebih milih Luka."

"Iya kan, Je!!" Brian langsung merangkul Jeje dengan sok akrab. "Beuhhh, sehati emang kita!"

"Tapi kan lo nggak tahu gimana Luka, Bang." Dino masih tak terima. "Nggak bisa gitu dong."

"Yaudah, gini aja." Sebuah ide mendadak muncul di kepala Dimas. "Langsung kita tanyain ke Sienna aja, kan dia kenal dekat sama dua-duanya, jadi kita bisa tahu gimana pandangan Sienna terhadap kedua calon."

AdaptasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang