Adaptasi #34

319 59 34
                                    

Sudah dua hari setelah Kanaka menemukan Sienna pulang dalam keadaan basah kuyub dan menangis. Perempuan itu tak menjawab satupun pertanyaan Kanaka, dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri sampai dengan hari ini. Sienna hanya keluar tengah malam untuk mengisi perutnya dengan air minum dan roti. Makanan yang Kanaka masak untuknya dibiarkan sampai basi di atas meja makan.

Tahu kalau dia tak akan bisa membujuk Sienna, Kanaka akhirnya memutuskan untuk benar-benar memakai senjata pamungkasnya. Ia menelepon Ayah dan Bunda, meminta mereka untuk datang karena ia sangat mengkhawatirkan keadaan perempuan itu. Ia benar-benar harus melakukan itu sebelum penyakit maag Sienna kambuh dan membuat kesehatannya menurun.

"Nana-nya mana?" tanya Beni begitu ia dan istrinya sampai di unit apartemen anaknya.

"Masih nggak mau keluar dari kamar, Yah." kata Kanaka sembari mengantarkan Beni dan Tiara ke depan pintu Sienna.

"Ka, itu si Luka beneran kayak gitu?" tanya Tiara dengan suara bisik-bisik.

"Nggak, Bun. Dia cuma difitnah." jawab Kanaka. "Lebih jelasnya nanti aku ceritain."

Tok..tok..tok..

"Nana, ini Ayah. Buka pintunya!" seru Beni sambil menggedor pintu kamar anaknya dengan sedikit gelisah. "Kamu mau jadi apa mengurung diri di kamar karena masalah laki-laki? Anak Ayah nggak ada yang selemah itu! Nana, buka pintunya!"

"Ayah, jangan terlalu keras sama anaknya." Tiara langsung menegur dengan suara yang dilembutkan. "Nana juga pasti sedih karena masalah itu."

Tok..tok..tok..

"Nana, kamu dengar Ayah kan? Ayah bilang buka pintunya!" tegas Beni. "Ayah mengijinkan kamu kuliah di sini bukan untuk jadi perempuan lemah! Kamu sendiri yang mau untuk kuliah di sini dan ambil jurusan mesin, anak mesin nggak ada yang mentalnya kayak kamu!"

"Ayah!" Tiara langsung melototi suaminya. "Kalo Ayah cuma mau marahin Nana, mending pulang aja! Biar Bunda yang di sini sendirian!"

Kanaka yang berdiri di belakang mereka memilih untuk tak membuka mulutnya.

"Bunda diem dulu." kata Beni. "Nana udah berani membantah Ayah demi kuliah jauh di sini, tapi lihat sekarang bagaimana jadinya! Memang seharusnya dari awal Ayah tahan kamu untuk tetap di rumah, Na. Sekarang kamu malah mengurung diri dan nangis di kamar karena laki-laki lain, ayah mana yang nggak sakit hati lihat anak perempuannya jadi seperti ini?"

"Sienna Gallain, buka pintunya atau Ayah dobrak?!" Beni mulai mengancam. "Kalau kamu terus seperti ini, lebih baik kamu pulang dan lupakan kuliah di sini!"

ceklek...

Sienna membuka pintu kamarnya dengan kepala yang menunduk. Mereka dapat merasakan kesedihan dan kemuraman dari perempuan itu.

"Nana." lirih Kanaka dan Tiara bersamaan.

Beni berdecak. "Kemas barang-barang kamu, kita pulang--"

Ucapan Beni langsung dipotong dengan pelukan mendadak dan tangisan kuat dari anaknya. Tangisan itu bukan merupakan senjata untuk membujuk. Tangisan Sienna terdengar seperti sedang mengadu. Ia memeluk ayahnya kuat sambil menangis sesegukan.

"Aku mau pulang, aku capek." tangisnya. "Bawa aku pulang, Yah. Aku nggak mau lagi ada di sini."

Mereka terkejut mendengar penuturan Sienna dan tangisan pedih perempuan itu. Saat Beni langsung meluruhkan semua amarah dan hatinya yang keras untuk membalas pelukan anaknya dengan hangat, Tiara dan Kanaka kompak langsung saling pandang. Semenjak lulus SMA, hubungan antara anak dan ayah itu sempat merenggang karena perbedaan pendapat. Namun melihat bagaimana Sienna yang kini sedang mengadu di pelukan Beni, Tiara dan Kanaka langsung tersenyum lega.

AdaptasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang