Jeno itu bukan seseorang yang tepat untuk ia banjiri ucapan cinta setiap harinya. Bukan pula seseorang yang tepat untuk ia masukkan ke dalam imajinasi sebagai sosok sempurna yang menghiasi kisah cintanya.
Jeno itu hanya Jeno, sosok biasa saja yang ia lihat di setiap harinya. Sosok biasa saja yang kemanapun ia pergi, pasti akan tetap kembali dan membuka pintu rumah. Sosok biasa saja yang ada di empat musim rutinnya. Sosok biasa saja yang ragam kebiasannya terlalu membekas dalam ingatan Renjun; kebiasaan menyebalkannya, jahilnya, manisnya, dan segalanya.
Segalanya, segalanya.
Jeno itu biasa saja. Tidak ada fakta spesial tentangnya selain bahwa ia adalah rumah, rumah yang akan selalu menaunginya.
Rumah untuk tempat Renjun kembali di setiap musim yang menaungi.
----
Imlek tahun ini sedikit berbeda, tidak, tapi sangat berbeda.
Renjun menatap layar ponsel yang kembali menampilkan wallpapernya, sebuah potret kebersamaan Chenle dan Logan, dengan mata berkaca-kaca. Ia menghela napas kasar lantas menutup matanya, memaksa setetes air mata untuk turun dari sana. Ia berpikir untuk kembali menangis dan menuntaskan sesak dalam dada, sesuatu yang sedari tadi ia tahan selama percakapannya bersama sosok ibu dan ayahnya, yang berada nun jauh di sana.
Ia tidak tahu mengapa dirinya menjadi sangat emosional. Ini hari kedua imlek dan semua berjalan baik-baik saja. Kemarin mereka mengunjungi kediaman orang tua Jeno dan suasana imlek yang tak sebebas biasanya tetap menyenangkan juga penuh nuansa kekeluargaan. Mereka, orang tua Jeno, menghadirkan nuansa imlek khas selayaknya di Tiongkok, tanah kelahirannya. Kudapan-kudapan familiar yang mengingatkannya akan rumah juga ikut tersaji, membawa jiwa Renjun pergi ke tempat yang jauh di sana, tempat di mana segalanya pernah ada bersamanya; orang tuanya, dan kenangan imlek mereka bertiga.
Renjun menghela napas sekali lagi, mencoba mencari simpul atas sikap uring-uringannya yang begitu tiba-tiba. Barangkali ia bisa mengelak waktu Jeno menanyainya soal sikapnya selepas pulang dari rumah mama dan papa, berkata bahwa ia sedikit tidak enak badan karena cuaca ekstrim yang menaungi kota. Tapi tampaknya saat ini ia sudah tidak bisa mengelak, tidak bisa mencari-cari alasan untuk ia kambing-hitamkan. Renjun tak menyukai kebohongan dan sebisa mungkin menghindari untuk berbohong, apalagi jika itu ia lakukan kepada orang-orang pentingnya, termasuk Jeno.
"Lele sama Lolo udah aku mandiin tuh. Tinggal aku yang mandi, kamu tunggu bentar ya hehe...."
Renjun tak bisa lagi mengelak, tapi ia bersyukur karena Jeno tak mempertanyakan apa-apa yang membuatnya harus kembali memutar otak demi sebuah alasan mengapa matanya sembab dan wajahnya murung sekarang. Tapi kalaupun Jeno kembali bertanya, maka Renjun akan menjawab jujur sekarang karena ia telah menemukan jawabannya.
Renjun rindu sesuatu, sesuatu yang terasa acak namun utuh; aroma babi panggang khas restoran pinggir jalan yang biasa ia dan orang tuanya kunjungi di setiap malam imlek, lampion merah menyala yang papanya pasang di teras rumah, bertoples-toples camilan khas imlek--terutama coklat kacang yang terbungkus kertas alumunium berwarna emas yang kontras dengan warna merah yang mendominasi rumah--yang kadang terlalu berlebihan dan melampaui masakan utama, serta kehadiran orang tuanya--esensi utama dari sesuatu yang acak namun utuh itu.
Renjun rindu semua itu, semua yang membawanya pada sensasi bahwa ia ada di rumah.
Renjun rindu rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY TALE [ NOREN-LE ]
FanfictionMake your days full of joy with Papa, Mama, and their cutest tiny replicas🎈 Warn! BxB; mpreg; misgendering; random time set and plot! /A high probability of typos./