Adakah yang masih bangun?
(Btw, ini 2,5k words lho! Awas hati-hati ntar kalian ketiduran pas baca ekwkwk)
-
"Shhh jangan nangis, aku bakal baik-baik aja...."
Renjun tidak pernah merasa sesedih ini. Tidak selama ia menjalani kehidupannya bersama Jeno. Pria itu memang menyebalkan dan terkadang membuatnya kesal, tapi itu jauh lebih baik daripada senyum manisnya tadi yang menandai kepergian sosoknya dari tinjauan netra.
Jeno memang menyebalkan, tapi selama ini Renjun ingat bahwa pria itu tak pernah membuatnya meneteskan air mata.
-
Ini berlebihan, Renjun akui itu. Apa yang telah mereka hadapi tadi seharusnya cukup menjelaskan kemana perginya Jeno sekarang dan untuk apa pria itu pergi. Renjun seharusnya memahami bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang ditangkap oleh Jeno sehingga membuatnya harus kembali ke medan berbahaya itu tadi. Bertahun-tahun mengenal dan hidup bersamanya seharusnya membuat Renjun mengerti bahwa bagaimanapun, Jeno adalah sosok dengan kepedulian dan empati tinggi.
Renjun harusnya mengerti. Ia harusnya mengerti dan berhenti menangisi kepergian Jeno tadi. Tapi logikanya tak cukup kuat mengalahkan perasaannya saat ini. Dan Renjun akhirnya menyerah dalam tangis sendirian.
Jeno berjuang setengah mati menyelamatkan mereka tadi, dan ia belum memberikan pria itu ucapan terima kasih paling tulus yang ia miliki seandainya--
"Mama, kenapa Mama nangis? Papa nakal ya? Papa nakal kalena tinggalin kita?"
--suaminya itu tidak kembali.
Lamunan sedih Renjun buyar oleh suara serak Chenle. Bocah sulung itu kini tengah menatapnya dengan mata sedikit basah, tampaknya agak mulai merasa tidak nyaman dengan posisi mereka saat ini. Renjun yang diberikan pertanyaan polos itu semakin dirindung mendung. Matanya kembali berkaca-kaca, tubuhnya bergetar hebat yang kemudian ia tenggelamkan dalam pelukan erat bersama anak-anaknya.
"Hiks.... hiks..."
Renjun terisak kuat. Ia memeluk erat Chenle dan Logan, menyembunyikan air matanya di balik punggung mereka. Chenle yang tidak mengerti mengapa mamanya tersedu-sedu seperti ini hanya dapat melamun sedih. Sesekali ia mencoba mendongak, atau menengok ke arah adiknya yang sama bingungnya.
"Aku sedih banget deh kalau Mama nangis...."
Chenle berujar dengan lirih, matanya masih terbelalak polos. Pelukan erat sang mama di tubuhnya membuat anak itu tidak bisa bergerak bebas. Ia tahu mesti ada sesuatu yang ia lakukan sekarang untuk menghibur mamanya.
"Puk puk puk, Mama jangan nangis yah...."
Tangan mungilnya yang terselip di antara pelukan mereka Chenle paksa untuk mengelus punggung sang mama, berharap dengan itu orang yang telah melahirkannya ke dunia itu mau untuk sekedar mendongak agar bisa Chenle hapus air matanya nanti. Sementara Logan yang berada di sebelahnya tampak ikut membeo ucapannya tadi dengan mata kosong dan suara lirih. Bayi dua tahun itu tampak bingung sekaligus lelah, dan yang bisa dilakukannya sekarang hanya meniru ucapan kakaknya sembari menepuk-nepuk pelan perut sang mama.
"Put put put, Ma nan nanis ya...."
Renjun yang menyadari aksi tulus putranya itu merasa terharu, namun perasaannya seketika teracak kusut. Upayanya untuk menghentikan tangis gagal sepenuhnya saat ia mendongak dan mendapati tatapan polos Chenle yang menatapnya penuh harap, seolah ia adalah satu-satunya orang yang dapat digantungkan harapan setelah kepergian papanya.
Kepergian papanya? Renjun semakin tergugu sedih. Benar, ia sendirian sekarang. Jeno pergi sudah cukup lama dan mungkin pertemuan mereka tadi adalah pertemuan terakhir--
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY TALE [ NOREN-LE ]
FanfictionMake your days full of joy with Papa, Mama, and their cutest tiny replicas🎈 Warn! BxB; mpreg; misgendering; random time set and plot! /A high probability of typos./