Papa Sakit

8.1K 960 162
                                    

Hari ini Renjun harus pergi. Ada rapat para kurator yang harus ia hadiri sehubungan dengan pergelaran galeri lukisan yang akan mereka buka akhir bulan ini. Lelaki manis itu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan segala keperluan, khususnya keperluan dua orang yang akan ia tinggal di rumah hari ini. Keempatnya bisa saja pergi bersama kalau sang kepala keluarga tidak sedang meringkuk kedinginan di kasur sekarang.

"Aku naik bis aja ya sama Lolo, biar kamu istirahat aja di sini." Ujarnya sibuk sembari ke sana ke mari menyiapkan sarapan dengan gesit tanpa menoleh kepada seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tampilannya yang masih sama seperti bangun tidur tadi. Pria tampan itu mungkin hanya menggosok gigi tanpa membasuh wajah pucatnya yang sangat kentara seperti orang bangun tidur itu.

Jeno yang menyadari kesibukan istrinya hanya mengangguk patuh, menguap ngantuk sembari menggosok lengannya yang terasa dingin.

"Injunnn aku demam deh kayanya...."

Suara Jeno terdengar lebih serak, diikuti dengan bersin setelahnya. Renjun yang selesai berjibaku dengan panci beraroma sup lezat itu menoleh sekilas kemudian mengamati penampilan suaminya. Hidung dan matanya agak merah, sangat kontras dengan keseluruhan wajahnya yang pucat.

"Semalem minum obat apa? Batuk ya? Atau paracetamol?"

"Ngga tau, aku asal minum obat yang ada di kotak obat."

Alis Renjun tertukik tajam, cukup untuk merepresentasikan bagaimana kesalnya ia kepada sang suami sekarang. Tapi omelan panjangnya ia urungkan mengingat waktu yang tiba-tiba terasa bergerak cepat seolah mengejarnya sekarang.

"Yaudah sekarang kamu makan dulu, abis itu minum paracetamol. Kalau flunya makin parah minum aja obat batuk yang warna botolnya pink. Kemarin Lele minum itu langsung sembuh."

"Tapi kan Lele anak-anak, Jun...."

"Lah, emang apa bedanya sama kamu?"

Renjun berujar datar tanpa mengalihkan perhatian, terlalu sibuk pada pemastian dari rasa sup yang tengah ia buat. Jeno yang menyadari kalau ujaran istrinya tadi adalah ujaran sungguh-sungguh--yang diucapkannya tanpa sadar, mungkin--mendengus kesal lantas terduduk lesu di kursi makan.

"Aku boleh peluk kamu ngga?"

"No, kamu bau."

"Cium?"

"Kalau aku ikut flu gimana? Imunku kan lagi rawan."

Sekali lagi Jeno mendengus kesal, merasa bahwa hal esensial yang dibutuhkannya jika tengah sakit begini justru tak didapatkannya sekarang. Renjun juga kelihatannya sedang benar-benar sibuk, terbukti dengan gerakannya yang makin gesit seolah ia lupa bahwa ada gundukan perut yang harus ia jaga. Jadi mungkin penolakannya tadi benar-benar sebuah 'penolakan', bukan hanya gurauan atau manifestasi dari keengganannya.

"Eh!"

Beranjak dengan lesu hendak kembali bersembunyi di dalam selimutnya yang hangat, langkah kaki pria tinggi itu terhenti oleh suara sang istri yang memanggilnya hanya dengan kata 'eh'. Ia berbalik untuk mendapati sosok cantik itu yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan manis.

"Muah! Cepet sembuh ya Papa!"

Satu kecupan kilat ia terima setelahnya, membuat matanya mengerjap kaget. Tapi tak lama setelahnya senyumnya terkembang lebar hingga matanya ikut melengkung cantik.

"Tadi katanya ngga mau cium karena takut ketularan?!"

Renjun terkekeh kecil untuk ujaran kesal suaminya sembari melingkari tubuh tegap itu sebuah pelukan hangat. Jeno yang mendapatkan hal manis macam itu secara tiba-tiba sontak saja semakin terkekeh bahagia kemudian ikut melingkarkan tangannya di pinggang hangat sang istri.

FAMILY TALE [ NOREN-LE ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang