🍉 Butterflies Tattoo

13.5K 528 3
                                    

Hai orang-orang yang beriman, yang tidak beriman tidak hai.

07|| BUTTERFLIES TATTOO


Belum bisa move on dari peristiwa semalam, hanya murung dan melamun lah yang sejak tadi dilakukan oleh perempuan berdress navy itu. Semenjak tiba di kediamannya pukul setengah empat tadi, Alea sampai sekarang belum mau keluar dari kamarnya.

Untuk bisa sampai di kamarnya saja dia tak berani lewat pintu utama. Dia harus memutar arah menuju belakang rumah dan masuk dari pintu yang menembus dapur. Beruntung tidak ada penjaga yang memergokinya.

Semua itu ia lakukan semata-mata untuk menghindari orang rumah yang mungkin saja masih terjaga saat ia pulang. Alea tak cukup pintar mengarang cerita kebohongan jika terpergok pulang dengan kondisi tubuh yang berantakan tak serapi saat pergi tadi.

Tok tok tok.

Suara ketukan dari luar tak membuatnya tertarik. Ia hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun, menatap lurus ke arah balkon.

"Lea, mama boleh masuk?"

Bibirnya bungkam, enggan bersuara menjawab izin sang mama. Setelah mendengar suara nyaring tadi, suara pintu yang berderit menyusul memasuki indera pendengaran. Sienna tetap masuk meski putrinya tak menyahut.

Menutup pintu kembali, wanita yang terlihat masih cantik di usianya yang tak lagi muda itu naik ke atas ranjang, duduk tepat di samping putrinya yang belum menyadari kedatangannya. Lebih tepatnya, menyadari namun tak menghiraukan.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Sienna begitu perhatian seraya menyentuh lengan Alea dan mengusap lembut di sana.

Ia percaya Alea tidak baik-baik saja begitu melihat tatapannya yang kosong serta wajahnya yang murung. Alea terkenal hiperaktif dan cerewet di antara anak-anaknya yang lain. Sangat terlihat aneh ketika ia mendatangi kamarnya namun diabaikan seolah tak dianggap ada.

Alea hanya menggeleng. Jawaban semacam itu semakin membuat Sienna tak paham perihal apa yang terjadi sekarang. Anak gadisnya tidak memberi jawaban yang membuatnya puas.

"Kamu bisa cerita ke mama. Kenapa? Hm?" Elusan di lengannya beralih tempat ke rambut panjang nan halus milik sang putri.

Gadis itu masih tak merespon perhatian yang mamanya berikan. "Gapapa," balasnya singkat.

"Semalam pulang jam berapa?"

Alea bingung harus memberikan jawaban seperti apa? Haruskah ia jujur bahwa pukul setengah empat dini hari dia baru tiba? Padahal kepada sang mama dia sudah berjanji untuk tidak pulang lewat dari jam dua belas.

"Jam satu," dustanya, kemudian menyandarkan kepala di bahu nyaman ibunya.

Sienna tak berniat membesar-besarkan jawaban Alea yang melanggar aturannya semalam. Ia cukup peka dengan kondisi mood putrinya yang nampaknya sedang kacau meski ia tak tahu apa penyebabnya.

"Iya udah. Turun yuk? Kita makan siang sama-sama. Kakak-kakak kamu lagi pada di rumah tuh. Mereka nungguin kamu," ajak Sienna melupakan topik pembahasan semula.

"Tadi pagi kan kamu udah nggak ikut sarapan," imbuhnya, menyinggung ketidakhadiran Alea di acara sarapan pagi tadi. Gadis itu memilih istirahat di kamar dengan alasan masih mengantuk dan sedang tidak enak badan.

"Lucio dari tadi ngerengek nanyain kamu, bahkan ngancem nggak mau makan kalau kamu gak ikut makan."

Mulanya Alea hendak kembali menolak bertemu anggota keluarganya. Namun, begitu mendengar sang mama menyebut nama keponakan yang paling ia sayangi, Alea tiba-tiba ingin mengubah niat awalnya.

ALEA'S Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang