Bab 5

1.2K 95 2
                                    

Cinta adalah rahasia. Di mana duka dan tawa berkelindan mesra. Sebentar menciptakan euforia. Sebentar mendatangkan nestapa. Sebentar menjawab problematika. Sebentar menyajikan tanya. Sebentar hadir menyapa ramah. Sebentar hilang dalam kesunyian semesta. Begitulah cara kerjanya.

Bangun, Widyanatha meraba nakas dan mengambil air putih yang ditaruh di sana. Setelah minum beberapa teguk ia menguap. Tidak tahu sudah jam berapa, tetapi instingnya mengatakan ini masih malam. Kembali pada posisi tidur, kedua alisnya terpaut. Ada sesuatu yang aneh.

Biasanya Adwi akan tidur memeluknya. Namun malam ini, jangankan memeluk, ia bahkan merasa wanita itu tengah membuat jarak dengannya. Apakah karena ia memaki dan melempar cincin pernikahan mereka? Ah, ya, sejak kapan ia menjadi peduli akan perasaan istri yang menikahinya paksa?

"Adwi?"

Tidak mendapat jawaban, ia mencoba meraba bagian kiri ranjang. Tubuh wanita itu masih di sana, meringkuk di bawah selimut hingga menutupi kepala. Sedikit penasaran, Widyanatha menarik selimut hingga setinggi dada.

"Jangan pergi." Tiba-tiba Adwithya memegang tangan Widyanatha, suaranya terdengar lirih dan tak bertenaga. Kemudian mengulang kata yang sama berulang kali.

Sentuhan itu terasa berbeda, lebih hangat dari biasanya. Menyentuh dahi Adwithya, baru ia menyadari istrinya tengah demam. "Kau sakit."

Ingin sekali ia bertindak tidak peduli. Namun hati kecilnya selalu berkhianat. Sebagai orang yang sejak kecil hingga remaja aktif dalam kegiatan kemanusiaan, tentu saja sisi iba dalam dirinya bergema. Tidak peduli lawan atau kawan, benci atau cinta, ketika terluka ia wajib membantu mereka.

Mengambil tongkat yang diletakkan di dekat nakas, Widyanatha berjalan dengan sedikit tergesa. Sepuluh langkah setelah belok kanan adalah kamar Bibi Wei dan para pelayan. Mengetuk pintu kamar, pria itu sedikit meninggikan suara. "Bibi Wei."

Cukup tiga kali ketukan dan pintu berdecit pelan. Bibi Wei masih menggunakan pakaian tidur menatap Widyanatha, bingung. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Adwi sakit. Bisakah kau mengurusnya?"

"Apa?" Tanpa basa-basi, Bibi Wei meninggalkan Widyanatha. Padahal wanita paruh baya itu biasa dengan sabar mengikutinya dari belakang. Lantas mulai membangunkan semua orang di kediaman. "Cepat minta sekretaris Li membawa dokter Piari ke mari."

Hanya demam dan satu rumah mendadak seperti ditimpa musibah besar. Duduk di kursi dengan kaki menyilang, Widyanatha hanya mampu menikmati bunyi langkah kaki dan suara berbisik pelayan. Mereka berlaku seperti wanita itu sedang sekarat dan akan mati. Ia tidak mampu menahan tawa mengejek untuk mereka.

"Bukankah baru saja tadi dia memaki kalian? Bahkan memecat dan mengusir kalian dengan tidak berperasaan. Aneh, mendengar kalian masih begitu peduli akan dia." Bersedekap dada, Widyanatha berbicara dengan wajah menghadap jendela.

"Aneh, memang. Kenapa mereka harus peduli?" Sekretaris Li yang baru tiba bersama Dokter Piari memandang benci Widyanatha. "Namun tidakkah Tuan merasa bahwa yang lebih aneh adalah Tuan?"

"Apa maksudmu?"

"Sebagai seseorang yang paling membenci nyonya, saya tidak tahu Tuan menyimpan rasa peduli dan sedikit cemas untuknya."

"Jika dia mati, semua orang akan menjadikanku tersangka."

Sekretaris Li terkekeh pelan. "Oh, ya?"

"Bisakah kalian berhenti?" Bibi Wei mengangkat kain yang dipakai mengompres dahi Adwithya. Matanya yang biasa mengandung jejak ketenangan dan rasa sabar, mendadak dipenuhi amarah. Bahkan itu lebih menakutkan dari ketika terlibat pertengkaran dengan sang nyonya. "Maaf, Sekretaris Li bisakah kau keluar?"

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang