Bab 31

826 49 0
                                    

“Dalam kamusmu, aku tetap musuhmu.” Adwithya tertawa kecil selagi memakan camilan buatan Bibi Wei. Menyuap bekas gigitannya pada Widyanatha, dia berkata, “Ini salah satu pencapaian terbesarku. Dari seorang musuh paling kau benci, menjadi musuh yang kau pedulikan.”

Entah apa yang salah dengan Widyanatha, sehingga menerima bekas kue Adwithya tanpa keluh kesah. “Kau harus mengadakan pesta besar atas hal itu.”

“Kau bilang ingin membacakan novel untukku. Bacalah dengan keras. Aku ingin mendengarnya.” Membaringkan diri di paha Widyanatha, Adwithya mengedipkan mata dengan manja.

Menatap langit-langit kamar, ada sejejak luka yang terpancar samar dari kedua netra. “Dulu, ayah senang mendongeng untukku. Bahkan ketika aku SMA, ayah masih melakukannya. Aku memang kekanakan, tetapi ayah, ibu, dan kak Bram tidak pernah mempermasalahkannya. Mereka memanjakanku seperti seorang putri raja.”

“Bagaimana denganku? Apa aku tidak memanjakanmu seperti seorang putri raja?”

Widyanatha tahu dia telah melempar pertanyaan yang salah. Tanpa perlu dijelaskan, semua yang mendengar itu pasti akan mengamininya. Kapan ia memperlakukan Adwithya dengan manis dan penuh cinta? Selain kedukaan, pria itu hanya bisa membawa segenggam nestapa sebagai mahar pernikahan mereka.

“Kau memang tidak memperlakukanku seperti putri raja. Namun kau membuatku memahami cinta dalam ribuan makna, bagiku itu lebih dari segalanya.” Baring menyamping, tangan kecilnya tidak bisa berhenti memainkan ujung baju Widyanatha. Sementara prianya sudah mulai membaca cerita.

Bersamamu, aku mengerti, bahwa cinta adalah udara; tanpanya percuma saja kau memiliki raga. Memilikimu, aku memahami, bahwa cinta adalah belati; kau harus siap untuk tersakiti. Menggenggammu, aku mengetahui, bahwa cinta adalah perjalanan; bilamana perpisahan datang, kau harus rela melepaskan.

Memejamkan mata, Adwithya meresapi kata demi kata dari puisi yang dibacakan Widyanatha. “Bagian pembukanya saja sudah menyedihkan. Sepertinya aku tidak memilih novel dengan benar. Jika kau tidak suka cerita sedih, lupakan saja, kita bisa membaca buku yang lain.”

“Tidak masalah, aku menyukainya.” Membuka halaman selanjutnya, Widyanatha larut dalam cerita. Seperti ada kepuasaan tersendiri ketika membaca dan menghayati bagian demi bagian kisah.

Biar malam ini kuseduh luka. Agar esok pagi, saat sang surya memaksa terjaga, kau bisa menikmatinya bersama sepotong roti tanpa cinta—dengan tawa yang tereduksi air mata. Jangan lupa ucapkan terima kasih, atas kerja kerasku membuat sekeping kama menjadi retakan duka. Karena untuk itu, seluruh semesta memahkotaiku dengan cela.

Cerita klasik yang disajikan dalam dua sudut pandang tokoh utama. Konflik batin menjadi akar permasalahan yang menyiksa pembaca. Diksi yang mengalir lembut dan berirama seperti pedang yang memainkankan hati manusia.

Adwithya menangis sesenggukan ketika novel mencapai dua bab terakhir. Menatap Widyanatha, dia memanyunkan bibir. “Curang! Kau sengaja membaca cerita ini agar aku menangis, bukan?”

Hidung wanita berpipi tembam itu memerah karena terlalu lama menangis, akibat terbawa suasana. Mengambil tisu, ia membuang ingus di depan Widyanatha, tanpa merasa malu. “Bagaimana mereka bisa menjalani hidup dengan saling melukai satu sama lainnya? Satu keras kepala dengan tidak mengakui cinta. Satunya lagi terlalu egois dan tidak mau mengalah.”

Tergelak nyaring, Widyanatha mencubit gemas pipi wanitanya. “Itu hanya cerita, Adwi. Mana mungkin ada cinta sebegitu drama di dunia nyata.”

“Ada!”

“Romeo dan Juliet? Gadis penenun dan gembala? Mereka semua hanyalah fiksi belaka.” Mengambil tisu yang Adwithya gunakan, ia membantu wanita itu membersihkan hidungnya. “Cerita itu lahir dari khayalan manusia. Hanya mengada-ada dan tidak jelas kebenarannya.”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang