Bab 38

1K 50 1
                                    

“Adwi.”

“Em?” Memadukan warna hitam dan jingga, Adwithya tampak sibuk melukis siluet seorang pria di langit senja. Senyumnya terkembang samar. Sejejak duka dan cinta tertinggal di kedua iris cokelatnya.

Kau adalah apa yang tak terjangkau indra. Kepingan puzzle yang tertata rapi dalam benak, tetapi hancur sewaktu menyentuh udara. Kau adalah hasrat dalam bingkai maya. Buih-buih kama yang mengevaporasi diri ketika menyentuh surya.

Memegang tangan Adwithya, Dokter Piari membantu menyempurnakan bagian pundak yang terlihat kurang proporsional. “Apa kau merindukannya?”

“Masih berhakkah aku merindukannya?” Tubuh Adwithya seketika menegang, tangannya bergetar dan tanpa sadar menjatuhkan kuas yang dipegang. Bahkan jika aku merindukannya sedalam samudra, rasa itu hanya bisa menguap dalam kesunyian duka. Dia terlalu sempurna untuk menerima rindu seorang pendosa yang tercela.

Sadar sudah menyentuh ranah terlarang, Dokter Piari berjongkok dan memungut kuas yang jatuh. Lantas dengan wajah bersalah, ia berkata, “Maaf, Adwi.”

“Maaf untuk apa?” Adwithya berhasil mengendalikan diri dan kembali memasang wajah biasa. Tersenyum semanis gula. “Kau sudah memberikan begitu banyak hal padaku. Harusnya aku yang meminta maaf karena terus mengecewakanmu.”

“Kau tidak perlu meminta maaf, Adwi. Aku senang bisa menyediakan bahu sebagai sandaranmu.” Pria bersurai hitam dengan lesung pipi yang dalam itu mengusap puncak kepala Adwithya.

“Terima kasih.”

Dokter Piari mengangguk selagi mengamati wanita yang pernah menjadi kekasihnya, lekat-lekat. “Adwi, maukah kau bersamaku lagi?”

Wanita dengan mini dress putih tanpa lengan dipadukan selendang motif bunga itu menaikkan kedua alisnya. Mengembuskan napas panjang, ia kemudian membalas tatapan Dokter Piari. “Kau ingin aku melanjutkan lingkaran karma? Dilukai dan melukai, sampai kapan ini menghantui kita?”

“Bagiku, ini bukan lingkaran karma. Ini adalah kesempatan untuk kita memperbaiki apa yang salah.” Dokter Piari mengambil kursi dan duduk tepat di samping Adwithya. “Mari kita sama-sama mengobati luka. Kembali membangun tawa yang pernah direnggut air mata.”

“Aku tidak bisa.” Menggigit bawah bibirnya, Adwithya memalingkan muka.

Dokter Piari tertawa kecil. “Bukan tidak bisa. Kau hanya tidak rela lepas dari bayang-bayang Widyanatha. Adwi, jauh di lubuh hatimu, kau masih belum mau melepaskan. Hanya saja keadaan yang memaksamu untuk meninggalkannya, bukan?”

Mendengar nama itu disebutkan dengan gamblang, membuat hati yang baru tertata rapi kembali dilanda huru-hara. Adwithya bangkit dari kursi dan pergi. “Itu bukan urusanmu, Dokter Piari.”

***

“Kau sudah mencintainya, Tuan.”

Widyanatha mencoba tidak memedulikan kata-kata Dokter Peter. Namun, tanpa sadar dia mempercepat langkah kaki selaras dengan perasaan yang kian bimbang. Berlari menembus salju di pertengahan Januari, pria bersurai hitam acak-acakan itu merasakan gigil hingga ke dasar hati.

Baik bayang atau raga, Adwi, kenapa kau selalu berhasil membuat kacau seorang Widyanatha?

Jarak rumah dan perusahaan Widyanatha memang tidak terlalu jauh. Menggunakan angkutan umum hanya memerlukan waktu 15 menit, berjalan kaki 45 menit, dan jika berlari dengan kaki jenjangnya itu mungkin hanya memerlukan setengah jam saja.

Bernapas terengah-engah, Widyanatha menatap rumah dengan warna netral yang tenang, atap bersusun-susun, lantai agak tinggi, dan pagar di kedua sisi itu, lama. Sebelum akhirnya membuka pintu tanpa salam dan sapa—tidak seperti biasanya. Di ruang tamu ada Jisa yang tengah menonton drama, sambil sesekali memeriksa gawai. Melihat yang ditunggu datang, ia langsung menghampiri dan melayangkan kecupan.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang