Menyusuri trotoar, Sekretaris Li menatap cermat jajanan pinggir jalan yang menawarkan berbagai makanan dan minuman. Puluhan pria dan wanita paruh baya berjejer rapi sambil berteriak memperkenalkan jualan agar pelanggan datang. Memasuki kedai ketiga dari ujung kiri, ia melihat-lihat menu dan kemudian memesan secangkir es buah spesial.
“Mungkin nyonya juga mau, aku akan memesan satu bungkus untuknya,” gumam Sekretaris Li, selagi menatap gawai yang menampilkan foto seorang wanita menghadap ke arah luar jendela. Potret itu ia ambil diam-diam beberapa tahun lalu, saat Adwithya masih belum mengenal Widyanatha.
“Kak Li?”
Sedikit memutar bola mata, Sekretaris Li langsung bangkit dari kursi dan memberi hormat. “Nona Kina.”
“Kita baru tidak bertemu beberapa minggu, dan kau sudah kembali kaku.” Tanpa menunggu dipersilakan, gadis dengan blus garis-garis vertikal dipadukan rok tulip itu duduk di depan si pria. Saat pelayan datang membawakan pesanan Sekretaris Li, ia langsung mengambilnya. Dengan polos berkata, “Maaf, aku sangat haus sekali. Kak Li, kau pesanlah lagi. Aku akan membayarkannya.”
“Tidak perlu, Nona. Saya bisa membayar sendiri.” Menatap Kina sebentar, kemudian beralih ke pelayan dengan celemek hitam tanpa motif di sebelah kanannya. “Bibi, bungkuskan saya satu es buah dengan sedikit sirup dan semangka yang lebih banyak.”
“Baik, Tuan.” Pelayan itu membungkuk dan kemudian bergegas menyiapkan pesanan.
“Kenapa?” Kina mengaduk-aduk es buahnya dengan wajah sedikit kesal. “Apa kau tidak mau minum bersamaku?”
Sekretaris Li menggeleng pelan. “Bukan seperti itu, Nona. Saya sudah tidak lagi haus. Es buah itu untuk nyonya Adwi. Harap Nona tidak salah paham.”
“Oh, ya?” Sejejak kecemburuan terbakar di mata Kina. Memandang wajah pualam pria berkacamata itu, hatinya bergetar. Berdecak sebal, ia bahkan tidak tega untuk melampiaskan kejengkelan. Entah sihir macam apa yang ditanamkan si pria hingga ia selalu merasa lemah.
“Kanebo kering!” Matanya berkedut kala menggigit mangga. Mengangkat sendok, ia membandingkan wajah Sekretaris Li dan buah dengan cita rasa asam itu. “Salah! Aku harusnya menyebutmu mangga kering.”
Ya, karena kau selalu memasang wajah masam dan bersikap kaku.
Menopang dagu dengan tangan kiri, sementara tangan lain tetap menyendok es buah, Kina mengulum senyum. “Aku baru tiba dua hari lalu dan belum sempat memberitahu kak Adwi, kalau AR Fashion mengontrakku menjadi desainer tetap mereka. Jadi, aku akan menetap di kota ini selama beberapa tahun ke depan.”
“Saya akan membantu memberitahukannya pada nyonya.” Canggung, Sekretaris Li mencoba sebaik mungkin menghindari bertukar pandang dengan Kina. Perasaannya saja atau mungkin itu benar adanya, ada yang beda dari sikap sang nona.
“Aku sangat senang sekali atas kontrak ini. Bukan hanya karena gaji yang besar. Namun karena desainku akan terpampang di setiap majalah terbitan mereka. Bahkan dikenakan orang-orang terkemuka. Kau tahu, Kak Li, aku bahkan tidak bisa tidur karena takut ini hanya mimpi.”
Sekretaris Li memincingkan mata kala mendengar Kina berceloteh ria. Dia tidak bertanya, tetapi gadis itu terus bercerita dengan antusiasnya. Meski tidak tertarik, ia tetap menjadi pendengar setia.
Menyadari tatapan Sekretaris Li, Kina langsung mengatupkan mulutnya. “Aku hanya bercerita. Kau tidak perlu mendengarkannya. Anggaplah, aku sedang berbicara sendiri.”
“Saya tidak berani.”
“Tidak berani?” Kina tersenyum sinis. Apanya yang tidak berani? Kau baru saja menatapku dengan sorot mata penuh ejekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...