“Ketika datangku tak lagi jadi anganmu. Ketika bayangku tak lagi jadi candumu. Ketika bahagiaku tak lagi jadi prioritasmu. Aku baru tahu, menyia-nyiakamu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.”
Jari-jari Widyanatha menari-nari di atas papan tik, selagi bibirnya berkomat-kamit membaca hasil ketikan. Mengambil cangkir porselen berisi kopi di sudut kanan meja, ia menghela napas panjang. Menyeruput perlahan-lahan, netra segelap jelaga itu seakan tidak mau lepas dari layar laptop.
“Bisakah kita mengulang masa silam? Biar kuperbaiki bagian yang salah; menyulam sepenggal kisah rumpang. Dengan demikian, tidak akan ada ikatan yang terkoyak. Merpati betina tidak harus melalang buana, sementara sang jantan terkapar dalam duka menanti dalam ketidakpastian.” Pria dengan kemeja biru tua polos itu memejamkan mata sejenak. Tangannya mendadak bergetar,tidak sanggup melanjutkan ketikan.
“Masa silam tidak bisa terulang. Penyesalan telah menyerap ke dalam tulang. Kesempatan untuk memulihkan kerentakan sudah tak lagi terbentang. Hilang.” Bergumam pelan, seperti ada selaksa belati menghunjam dada dan merobek-robek hati yang patah. Menangkupkan kedua tangan di wajah, Widyanatha menahan duka di pelupuk netra yang berdesak-desakan ingin tumpah.
Widyanatha tersenyum getir, mengedarkan pandang pada sekeliling ruangan, matanya memancarkan kerinduan. “Satu tahun, 3 bulan, 4 hari, 8 jam, 30 detik. Kau sudah meninggalkanku selama itu, Adwi. Tidak berniatkah kau untuk kembali?”
Sebelumnya, kehadiran Adwithya seperti angin lalu. Ada atau tidak, bukanlah hal penting yang membuat kalut marut. Namun, setelah wanita itu pergi dan tabir takdir mengungkap sejuta rahasia, ia dilanda kacau. Menghitung tiap detik yang terlewat tanpa kehadiran mantan istrinya, Widyanatha merasa hampa—hidup seolah tiada.
Efek kupu-kupu benar-benar bekerja. Sentuhan hangat dan kelembutan cinta Adwithya berhasil meluluhlantakkan kebekuan gunung kama Widyanatha. Entah kapan rasa benci berubah lebih dari sekadar kepedulian atas nama iba, ia hanya tahu itu sudah terjadi sedari lama—sebelum si wanita pergi dari hidupnya. Namun, keegoisan—merasa menjadi manusia paling benar, tidak layak didapatkan si pendosa—membuat gejolak asmara teredam kesunyian, hingga kesalahan demi kesalahan dilakukan. Tanpa sadar telah menyakiti orang yang paling ia sayang.
Widyanatha menikmati luka yang ia ciptakan sendiri—luka yang harusnya bisa dihindari, seandainya logika tidak mengintervensi hati. Bergulat dalam kekacauan rasa, ia menumpahkan semua resah dalam buku berjudul Nestapa. Berharap suatu hari Adwithya bisa membacanya dan memaafkan semua salah yang pernah hadir dan menghancurkan bahtera rumah tangga. Namun, bisakah harap menjadi nyata? Ketika lara yang tercipta di antara mereka sudah sangat melukai kama?
Ponsel berderit pelan. Mengusap wajahnya yang kusut masai, Widyanatha merogoh kantong celana dan kemudian membuka pesan dari Kina.
[Kak Widyanatha, Kakak di mana? Novel Nestapa akan di-launching hari ini. Pihak penerbit mencari Kakak.]
[Kau saja yang pergi menghadiri acara launching novel Nestapa. Aku akan ke Pulau Tera.]
Tidak menunggu balasan dari Kina, Widyanatha langsung mengemas barang-barang seperti laptop, buku, dan pulpen ke dalam tas. Melihat jam tangan warna hitam dengan nama Adwithya di bagian tengahnya—khusus ia pesan sebagai tanda cinta—masih tersisa 10 menit lagi, sebelum pesawat lepas landas dari bandara.
Ingatan akan manisnya malam pertama—meski ia setengah mabuk kala itu—membuat Widyanatha memutuskan pergi ke Pulau Tera. Ia ingin mengenang kembali masa-masa di mana Adwithya singgah dan menyisipkan euforia di hidupnya. Walau kini, ia sendiri. Tidak ada lagi sosok penuh cinta yang terus mengalah demi kebahagiaannya.
***
“Selamat datang di Pulau Tera. Ini kunci kamar Tuan.” Seorang wanita bersurai kuning kemerahan menyerahkan kunci dengan gantungan kayu berbentuk pohon palem. Melirik pelayan pria di sebelahnya, dia berkata, “Antarkan Tuan Widyanatha ke kamarnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...