Bab 7

936 72 0
                                    

"Nyonya, saya punya sesuatu."

Asik menonton drama, Adwithya hampir tidak memedulikan Sekretaris Li. Ia sibuk tertawa dengan mulut penuh makanan ringan. "Katakan, apa itu?"

Pria dengan tinggi 183 sentimeter itu berjongkok di samping Adwithya. Kemudian merogoh saku jas dan mengeluarkan sebuah perhiasan berupa lingkaran yang biasa digunakan di jari. "Cincin pernikahan Nyonya dan tuan Widyanatha."

"Kau menemukannya?" Melonjak kaget, langsung mengambil cincin itu dari tangan Sekretaris Li. Tidak bisa menyembunyikan raut wajah bahagia, ia mencium cincin pernikahannya bersama Widyanatha berulang kali.

Bukan cincin mahal. Hanya cincin perak biasa, bahkan tidak sebanding sebutir kecil berliannya. Namun, itu lebih berharga dan bahkan tidak bisa digantikan meski ditukar dengan seluruh harta di dunia.

Suatu kali Adwithya pernah meminta ditemani belanja. Siapa menyangka pria itu mengajaknya ke pasar dengan alasan lebih murah. Berdalih ingin membelikan kado untuk sang pacar, ia berhasil membujuk Widyanatha memilihkan cincin terbaik yang pas di tangan mereka berdua. Meski pada awalnya curiga, setelah dicekoki kebohongan bahwa ukuran tangan si pria sama dengan kekasihnya, mau tidak mau ia percaya.

"Di mana Widyanatha?"

"Tuan sedang di taman belakang."

"Bagus." Berbalik menuju taman belakang, Adwithya melompat girang. Namun mendadak berhenti setelah menyadari sesuatu. "Sekretaris Li."

"Ya, Nyonya?"

"Aku sekarang pengangguran. Tidak memerlukan sekretaris untuk mengatur keperluan dan jadwal. Bagaimana kalau aku mengirimmu ke sisi kak Bram? Dia pasti membutuhkan lebih banyak asisten di sampingnya."

Seperti petir di siang bolong, Sekretaris Li terdiam dengan wajah terguncang. Adwithya menatap heran. "Aku bukan memecatmu, hanya dipindahkan saja. Haruskah kau memasang wajah masam itu?"

Menggeleng, Sekretaris Li berlutut dengan kepala tertunduk. "Sejak Nyonya menolong bisnis keluarga saya dan menjadikan saya sebagai sekretaris pribadi Nyonya. Saya berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah pergi dari sisi Nyonya. Saya hanya akan melayani Nyonya."

"Ish!" Kesal, Adwithya menyuruh pria berkacamata itu berdiri. "Jangan pernah mengungkit bisnis atau apapun yang kuberikan untukmu. Kita tumbuh besar bersama-sama, saling mendukung, dan saling menjaga. Bagiku, kau adalah keluarga."

Kita bisa saling mendukung dan saling menjaga. Namun, kenapa tidak dengan saling mencinta? Bisakah di antara kita lebih dari keluarga?

Senyum getir terukir di bibir Sekretaris Li. Itu sangat menyebalkan dilihat. Akhirnya Adwithya mengalah. "Baiklah, tidak akan kupindahkan. Kau akan tetap menjadi sekretaris pribadiku. Ya, aku tentu masih perlu seseorang untuk mengatur jadwal ke salon, belanja, ataupun merinci daftar drama yang harus ditonton setiap harinya."

"Terima kasih, Nyonya."

"Em. Kalau begitu, aturlah jadwal baruku."

"Baik, Nyonya."

***

Duduk di atas ayunan dengan kedua telinga disumbat earphone, Widyanatha tenggelam dalam dunianya. Angin dengan pelan meniup aroma kopi dan sepotong roti gandum berselai strawberry. Dalam imajinasi melukis bayang Jisa yang rupanya hampir terlupa. Entah bagaimana dan di mana ia berada, dalam kalbu ia selalu merapalkan doa agar gadis itu baik-baik saja.

Datang dan memeluk Widyanatha dari belakang, Adwithya menyuruh pelayan yang berjaga untuk mengurus pekerjaan rumah lainnya. Sementara dia dengan bahagia duduk di samping sang suami. Bersandar, mereka mulai berayun bersama.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang