“Tinggallah di sini untuk sementara waktu. Jika Widyanatha sudah menemukan kepala pelayan yang cocok dengannya, aku akan membawa kau dan pelayan lain bersamaku.”
Tidak terasa dua hari telah telah berlalu—tanpa Widyanata. Adwithya harus merasakan jatuh bangun dalam air mata, untuk terus hidup demi buah hati mereka. Memandang sekeliling, perasaan sepi merasuki dada. Mungkin sekarang dia sedang bersama Jisa; memadu kasih dengan mesra. Mereka pasti sangat bahagia.
Menundukkan kepala, Bibi Wei mempertahankan wajah datarnya. “Apa Nyonya sudah memutuskan ini dengan matang?”
“Menurutmu?” Menikmati segelas jus dan buah naga yang dipotong-potong kecil, Adwithya memilih tidak menatap lawan bicara. “Aku tidak tahu kenapa kau juga ikut-ikutan suka bertanya seperti sekretaris Li. Apa aku harus menjelaskan segala hal dengan rinci pada kalian?”
Bibi Wei menggeleng.
“Lama-lama kalian juga akan berani menentang dan menceramahiku.” Kesal, Adwithya mengempaskan sendok di tangannya ke meja. Mengingat hari di mana Sekretaris Li mengcengkeram tangannya dan bertanya pasal kerelaan melepaskan Widyanatha, membuatnya ingin naik darah. Beruntung ketika itu ia dalam suasana duka, jika tidak, hukuman pemecatan akan sangat pas untuk bawahan yang berani menggurui sang tuan.
“Maafkan saya, Nyonya.” Seperti biasa, Bibi Wei akan memasang wajah memelas, lantas mengurut pelan bahu Adwithya. Di dunia ini, ialah yang paling mengerti bahwa nyonya yang ia layani sedari belia itu adalah wanita terbaik di seluruh semesta. Kemarahan yang biasa ditunjukkan di depan mereka hanyalah topeng dusta untuk menutupi kerapuhannya.
“Bibi Wei.”
“Ya, Nyonya.”
Memegang tangan Bibi Wei yang masih halus dan kencang, Adwithya menengadahkan kepala—menatap wanita paruh baya di belakangnya. “Kau akan menjadi seorang nenek.” Senyum semanis madu itu terkembang lebar, setelah dia selesai mengucapkan satu kalimat dengan lancar dan tenang.
Bibi Wei terdiam beberapa saat. Ia hanya memiliki seorang putri yang memiliki gangguan mental dan belum menikah hingga sekarang. Bagaimana bisa ia menjadi seorang nenek?
“Kenapa?” Bangkit dari kursi, Adwithya menatap kesal Bibi Wei yang menunjukkan reaksi kebingungan. “Apa aku bukan putrimu?”
“Bagaimana mungkin Nyonya bertanya seperti itu? Nyonya sudah seperti anak untuk saya.”
“Jika begitu, bukankah anakku akan menjadi cucumu?”
“Tentu saja, anak Nyonya ad—tunggu, Nyonya ... hamil?” Otak tuanya memang susah diajak kerja sama, hingga perlu waktu untuk mencerna hal yang sangat sederhana. Begitu Adwithya mengiyakan pertanyaan, matanya berkaca-kaca. Tidak bisa menahan diri, sebuah pelukan hangat menjadi ungkapan kebahagiaan yang tidak bisa diutarakan lidah.
“Kenapa menangis? Apa kau tidak senang menjadi seorang nenek?”
Menyeka air mata, ia sendiri tidak sadar kedua netra telah basah oleh cairan jernih tak berwarna. “Saya sangat bahagia, Nyonya.”
“Oh, ya?” Sedikit menggoda, Adwithya sengaja menyentil ujung hidung Bibi Wei. Mereka memang sudah lama tidak sedekat ini. Terlebih ketika ia mulai sibuk bekerja, waktu untuk bercanda ria seperti momen langka.
“Apa tuan Widyanatha mengetahuinya?”
Satu pertanyaan yang menghancurkan senyuman. Mengembuskan napas pelan, Adwithya kembali menyandarkan diri di kursi. “Kenapa dia harus mengetahuinya?”
“Dia adalah ayah dari janin yang Nyonya kandung.” Mendadak Bibi Wei merasa cemas. Ketika Adwithya pulang sendirian dan mengatakan akan bercerai dengan Widyanatha, ia tidak banyak bicara dan menganggap itu adalah hak sang nyonya untuk melepaskan pria yang selalu menyajikan luka untuknya. Namun tidak akan begitu jika ia tahu wanita itu tengah mengandung. “Bagaimana Nyonya bisa membesarkan anak seorang diri saja, tanpa figur seorang ayah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...