Bab 45

1.7K 69 2
                                    

Sudut nista menyapa; angkara menertawakan kepingan nestapa. Semesta bungkam, seakan mengamini cela. Terkatung-katung dalam jerat duka, bayang kelam bak candu di kepala. Menyesak raga, menikam kama, sembilu tak iba. Kutuk demi kutuk saling menjumpa; selaksa perih tertambat mesra menyerang tuannya.

“Inikah yang aku cari? Duka tak bertepi. Sunyi abadi. Dia sang pemilik hati tak lagi tergapai jemari.” Widyanatha mengembuskan napas panjang, selagi tertawa gila dengan wajah bersimbah air mata. Lupakan tentang ketegaran seorang pria. Di atas bentala, ia hanyalah anak adam dengan segumpal merah di dada. Jika belati mengoyak-oyaknya, darah merembes di asa yang lara, maka menangis adalah hal lumrah.

Adwi, aku mengutukmu menjadi orang paling menyedihkan di dunia ini. Siapa saja yang mencintaimu akan ditimpa duka dan kehilangan. Kau akan berakhir dalam kemalangan, sendirian.

“Akulah orang malang itu—ditimpa duka dan kehilangan karena mencintaimu.” Menangis tersedu-sedu, Widyanatha melihat dirinya dari pantulan kaca. Tidak ada aura bahagia di sana—luka menyergap dengan gamblangnya. Sangat menyedihkan. “Adwi, pada akhirnya, kutukan itu berbalik padaku.”

***

Dokter Piari membungkukkan badan dan kemudian mengulurkan tangan, seraya tersenyum lebar. Tatkala Adwithya menghampirinya dengan menggunakan gaun putih leher V, dipadukan kain brokat yang menambah kesan mewah dan feminin. Bagian rambut di tata sederhana, dibiarkan tergerai dengan hiasan terbuat dari mutiara berbentuk bunga di sisi kanan kepala. Semua mata kompak melihat dua sejoli yang kini menjadi raja dan ratu pesta. Decak kagum merambat di telinga, diselingi tepuk tangan sewaktu keduanya berjalan di atas karpet merah. Di kiri dan kanan jalan menuju altar, anak-anak berusia sekitar 7 tahun memegang keranjang rotan berhiaskan daun maple yang berisi kelopak bunga mawar. Mereka dengan semringah melempar itu ke udara. Menciptakan hujan bunga.

“Kau percaya hari ini akan datang?” Dokter Piari bertanya dengan nada pelan, tetap fokus menatap ke arah depan.

Adwithya tersenyum kecil, tetapi sudut matanya justru memancarkan hal yang berbeda, sedikit beraura luka. “Tidak. Namun, kita sudah sampai di tahap ini. Percaya atau tidak percaya, inilah fakta.” Mengeratkan genggaman, ia mengembuskan napas perlahan. Netra cokelat itu menyapu sekeliling ruangan. Ada Bram, Klesi, dan juga beberapa karyawan setia perusahaan yang turut hadir meramaikan pertunangan. Hingga kemudian iris cokelat itu menemukan pria berjas biru tua yang tengah menatapnya dengan sendu. Hati yang damai kembali diterjang badai. Gamang beranak pinak memenuhi pikiran.

Widyanatha, maaf harus membuatmu kecewa.

Duduk di kursi paling depan, Widyanatha meremas ujung jas sewaktu Adwithya melewatinya.

Dulu aku meninggalkanmu, tepat setelah sumpah pernikahan diikrarkan. Kuanggap sucinya cinta sebagai kenaifan. Kau adalah iblis wanita yang sanggup menghalalkan cara untuk membuatku menjadi milikmu seutuhnya. Oleh karena itu, aku mati-matian membuat kata pisah menyapa. Namun, takdir begitu lihai memainkan segumpal merah di dada. Hari yang aku kutuki sebagai hari penuh noda, nyatanya menjadi hari yang paling kuharapkan terulang kembali untuk kedua kalinya—kita menjadi satu dalam cinta. Adwi, benarkah tidak ada kesempatan untukku menyembuhkan luka?

Segala tanya menyergap kepala. Widyanatha kehilangan kendali atas dirinya. Tidak memedulikan tatapan penuh makian dan juga komentar orang-orang, ia berjalan menuju Adwithya dan menyeretnya keluar dari ruangan tepat ketika cincin pertunangan akan disematkan. Sekali lagi, meski harus menerima penolakan, ia ingin memastikan perasaan sang mantan istri. Mungkin saja di hati wanita itu masih tersimpan selaksa kama, pikirnya.

“Widyanatha, lepaskan!” Adwithya memberontak sekuat tenaga. Namun, percuma, tubuhnya tetap saja berhasil diseret si pria. “Widyanatha!” Teriakan itu menggema, mengisyaratkan amarah.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang