Bab 42

1.2K 66 2
                                    

“Peris sudah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik.” Bram tersenyum penuh kemenangan, kala melihat isi pesan yang menyatakan kegagalan pernikahan Widyanatha. “Siapa pun yang menyakiti Adwi tidak akan bisa bahagia. Aku bersumpah tidak akan menganggu pria berengsek itu. Namun, aku tidak pernah berjanji, bahwa Jisa tidak akan tergoda dengan orang suruhanku.”

Memandangi langit malam dari balkon lantai dua, Klesi dan Bram saling berpegangan tangan. Menyandarkan kepala di bahu sang suami, wanita berwajah oriental itu berkata, “Jisalah yang memutuskan memilih Peris. Ini bukan kesalahan kita, jika mereka gagal menikah.”

“Bahkan jika ini adalah kesalahan kita. Aku akan mengakuinya dengan bangga.” Mengembuskan napas panjang, Bram merangkul Klesi. “Adwi adalah adik kesayangan Mas. Adwi adalah hidup Mas. Tidak seorang pun boleh menyakitinya termasuk Widyanatha.”

Bram tidak pernah menoleransi mereka yang membuat Adwithya terluka. Pernah sekali seorang pria mengunggah foto seksi adiknya ke sosial media dengan tujuan menjatuhkan keluarga Ararinda. Tidak sampai sehari, tersangka ditemukan dalam kondisi terluka parah. Bukan hanya itu saja, ia juga memastikan pelaku mendapat ganjaran yang berkali-kali lipat lebih menyakitkan dan memalukan.

Katakanlah ia kejam, karena begitulah cara Bram mengungkapkan sayang. Widyanatha beruntung hanya merasakan kegagalan pernikahan. Jika bukan karena mempertimbangkan sumpahnya pada Adwithya. Pria bermanik mata cokelat itu akan membuat semua keluarga mantan adik iparnya merasakan kemalangan tak berkesudahan.

“Nasib Jisa tergantung pada dirinya sendiri. Jika Peris benar-benar jatuh cinta padanya, maka biarkan saja. Namun, jika itu hanya karena uang kita yang bermain di perusahaannya. Kita lepas tangan.” Bram mencium puncak kepala Klesi, wanita yang memiliki kedudukan setara dengan Adwithya.

Klesi tersenyum kecil. Walau terlihat tidak berperasaan. Bram adalah sosok yang mengagumkan. Ia mungkin tidak selembut Widyanatha, tetapi pria itu tahu cara memperlakukan wanitanya dengan baik. Tidak ada kekerasan baik fisik ataupun verbal. Hanya ada kasih sayang dan kehangatan.

***

Ketika mega menyadari pentingnya jingga, semua sudah terlambat. Pekat malam telah merenggutnya dalam gelap. Membiarkan sesal bertakhta dan merobek-robek atma. Menyisakan sebongkah merah tak bernyawa.

Meratapi takdir yang tidak sejalan dengan harapan, Widyanatha menghabiskan hari-hari dalam gamang. Kegagalan pernikahan memberinya satu tamparan yang membuat perasaan remuk redam. Memadamkan semua sinar kehidupan. Meski ia seorang pria—lebih banyak menggunakan logika daripada cinta—tetap saja luka yang menganga memberi sensasi perih hingga ke dasar jiwa.

Ia kehilangan Jisa, tetapi entah mengapa nama wanita lain yang justru memenuhi kepala. Berdiri di ambang pintu, Widyanatha menatap ruangan yang pernah menjadi kamarnya bersama Adwithya. Kenangan akan tawa dan air mata saat mereka menjadi suami istri, seolah terukir abadi di memori. Membuatnya tidak bisa menahan diri, untuk merindukan masa-masa yang telah berlalu dalam sendu.

“Adwi, bagaimana kau bisa bertahan mencintaiku? Bagaimana kau bisa memandangku sebagai duniamu, ketika aku selalu menyajikan duka untukmu?” Memandang lukisan mantan istrinya di dinding kamar, ia tergelak sambil meneteskan air mata. “Aku tidak menduga, bahwa sesakit ini rasanya ditinggalkan.”

Sangat menyakitkan, hingga kerap aku berpikir mengakhiri hidup adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi permasalahan.

Jujur saja, semua cinta untuk Jisa menguap dalam kecewa. Dalam hati Widyanatha, sang mantan kekasih adalah sampah—tidak layak untuk menempati ruang kosong di dada. Desah mesra, lenguhan manja, malam-malam panjang di mana mereka saling bersetubuh membuatnya merasa jijik dan berdosa.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang