“Pesta mungkin sudah dimulai. Bagaimana jika nyonya mencari kita?” Berhenti, Sekretaris Li memandang Kina dengan tatapan gelisah. “Bukankah Nona diminta menjadi pengisi acara? Jika kita telat, nyonya mungkin akan marah.”
Kina tersenyum kecut. “Kau sangat mencintai kak Adwi, ya?”
“Nona.” Tidak mengiyakan pertanyaan, Sekretaris Li mengepalkan tangan, kesal. Mendadak menyesal menerima ajakan jalan-jalan.
Sebelumnya, Kina bertanya-tanya bagaimana perasaan Adwithya yang selalu diabaikan Widyanatha. Hari ini, ia mengerti. Itu sangat menyakitkan. Jika semesta memberi pilihan, ia lebih memilih tidak mempunyai hati daripada harus tersakiti.
“Ya, kau sangat mencintai kak Adwi.” Air mata meluncur bebas dari mata Kina. Sedetik kemudian disusul tawa, yang sama sekali tidak mengandung bahagia. “Bagaimana aku bisa mendapatkan hatimu, Kak Li? Apa yang dilakukan kak Adwi hingga membuatmu jatuh cinta begitu dalam padanya?”
Aku rela melakukan apa saja. Bahkan jika kau bilang aku harus menjadi seperti kak Adwi, aku tidak akan membantah. Kak Li, bisakah kau memberikan kesempatan untukku masuk dan menempati ruang di hatimu?
Tidak memedulikan kata-kata Kina, Sekretaris Li mengembuskan napas panjang. Lantas membungkukkan badan. “Maaf, Nona, saya harus kembali menemani nyonya.” Setelah kalimat itu diucapkan, ia berlari pergi.
“Kak Li?” Bergeming di posisinya, Kina memandang punggung pria berkacamata itu menjauh. Isak tangis pecah memenuhi wajah.
Inikah rasanya patah hati?
***
“Untuk menikahi tuan Widyanatha, dia menculik Jisa dan mengancamnya. Aku mendengar ini dari beberapa karyawan yang datang di pesta pernikahan.” Salah seorang tamu undangan yang merupakan kolega Adwithya berbisik pada teman di sebelahnya.
“Aku juga dengar kali ini kakaknya menculik kekasih suaminya, agar dia mau bertanggung jawab atas kehamilan Adwithya.”
Memandang Adwithya yang berdiri linglung di tepi kolam, ia memasang wajah prihatin. “Dia sangat mengasihankan.”
Wanita dengan mini dress hijau toska itu menyela, “Kasihan apanya, dia layak mendapatkan itu semua. Ingat kita pernah dihina karena tidak sesukses dia dalam membangun bisnis? Dia terlalu serakah, egois, dan kejam. Wanita seperti itu memang layak dicampakkan.”
Meski diucapkan dalam nada pelan, Adwithya tetap saja bisa mendengar segala perbincangan. Alih-alih perhatian, rata-rata sahabat dan koleganya tertawa menyaksikan kehancuran. Seolah-olah air mata dukanya adalah lelucon jenaka.
“Bereskan mereka semua. Siapa saja yang berani menggosipkan Adwi, tidak boleh dilepaskan begitu saja.” Bram memberi perintah kepada beberapa pengawalnya. Mereka dengan cepat melaksanakan perintah, membungkam mulut-mulut tajam yang dengan lancang berkomentar tanpa perasaan.
Adwithya memandang lurus ke depan. Pada bekas tapak kaki Widyanatha yang menghilang seiring detak jam. Setelah puas meludahkan penghinaan, pria itu memilih pergi entah ke mana.
Adwi, aku mengutukmu menjadi orang paling menyedihkan di dunia ini. Siapa saja saja yang mencintaimu akan ditimpa duka dan kehilangan. Kau akan berakhir dalam kemalangan, sendirian.
Tidak marah atau mencoba menyangkal sumpah serapah. Adwithya dengan rela mengamini setiap kata dari bibir Widyanatha. Jika dukaku adalah bahagiamu, jika kemalanganku adalah tawamu, maka biarlah setiap kutuk menjadi nyata.
“Adwi.” Mengelus pelan pundak sang adik, Bram merasa gagal menjadi seorang kakak. Janjinya untuk membahagiakan Adwithya seperti omong kosong yang menguap dalam kesunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...