Bab 12

1K 70 0
                                    

Menguap lebar, Adwithya menurunkan selimut hingga ke pinggang. Menatap sekeliling, ia terkejut mendapati Widyanatha berada di sampingnya. Bukankah semalam ia di kamar kosong? Kapan dan bagaimana tubuhnya sampai ke sini?

Semua pertanyaan itu sirna ketika menyadari sang suami memiliki luka lebam di kiri dan kanan muka. Terang saja ia panik tidak keruan. "Wajahmu kenapa? Siapa yang melakukannya?"

Adwithya langsung bangkit dan menyentuh bagian yang lebam. "Bibi Wei!"

Menjauhkan tangan Adwithya dari wajahnya, ia berkata, "Tidak perlu memanggil Bibi Wei. Kakakmu yang melakukannya."

"Apa?"

"Lain kali kalau ingin bunuh diri, pikirkan dulu baru lakukan. Hanya makan empat pil obat tidur dan berharap mati? Mimpi!" Perkataan Widyanatha sedikit tajam dan tidak berperasaan, tetapi anehnya terdengar mengandung kepedulian.

Adwithya menaikkan kedua alisnya, bingung apa yang dibicarakan Widyanatha. "Bunuh diri apa?"

"Tanyakan pada dirimu sendiri."

"Ha?" Adwithya mengingat-ingat kembali kejadian malam itu. Benar, dia memang berniat bunuh diri tetapi tidak jadi. Setelah memasukkan puluhan pil ke dalam mulut, ia memuntahkannya lagi dan hanya meminum beberapa pil saja. Karena jika dia tiada, siapa yang akan mengurus Widyanatha? Dia tidak akan bisa meninggalkan dunia dengan tenang sebelum memastikan pria itu bisa kembali melihat.

"Menyenangkan melihat kau peduli padaku." Sedikit menggoda, Adwithya menggamit dagu Widyanatha. Lantas tanpa permisi menyandarkan kepala di dada sang suami. "Aku hanya ingin tidur tanpa diganggu. Aneh sekali kalau dipikir bunuh diri."

"Sebenarnya bagus juga kalau kau bunuh diri. Aku akan terbebas dari belenggu iblis wanita sepertimu."

Iblis. Adwithya tersenyum siput mendengarnya. Awalnya itu terdengar menyakitkan. Seperti ditikam ratusan belati. Namun perlahan-lahan ia terbiasa, seperti bagaimana dia menerima kebencian Widyanatha.

Mengeratkan pelukan, Adwithya menarik selimut menutupi tubuh keduanya. "Aku masih mengantuk. Ayo kita tidur lagi."

"Menjauhlah da---?"

Lembu dan basah. Ada sedikit aroma kopi yang tertinggal di rongga mulut. Lidah Adwithya semakin liar menyapa penghuni bibir Widyanatha. Itu seperti candu dan dia tidak bisa berhenti untuk mencumbu.

Jika Widyanatha tidak menarik bibirnya hingga membuat bibir Adwithya tergigit dan luka, mungkin ciuman itu tidak akan berakhir. Meraba bagian yang berdarah, wanita itu tidak marah, justru senyumnya merekah.

"Apa memperkosa pria buta adalah hobi barumu?" Widyanatha berbicara dengan wajah datar.

Adwithya tergelak kencang. "Kapan aku memperkosamu, Widyanatha? Perlukah aku mengingatkan bahwa sepanjang kita menikah, kita hanya tidur di ranjang yang sama tanpa melakukan apa-apa. Hanya sebuah ciuman, kau tidak bisa mengatakan itu sebagai pemerkosaan."

"Kau melakukannya dengan kekerasan."

"Oh, ya?" Adwithya semakin tidak bisa menahan tawa. "Apa itu berarti kau ingin sebuah ciuman yang lebih lembut lagi."

"Gila!" Widyanatha langsung memalingkan muka. Namun Adwithya dengan nakal mencium keningnya. Lantas berbisik pelan di telinga prianya, "Sepertinya aku candu dengan hobi baruku. Bersiaplah untuk itu."

***

Ratusan orang dari berbagai latar belakang hilir mudik melewati trotoar. Di parkiran sebuah butik, Sekretaris Li memandangi jam tangan berulang kali. Baru pukul 16.45, salahnya yang datang terlalu awal. Padahal Adwithya mengatakan dengan jelas Kina baru akan keluar dari butik jam 17.00.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang