Bab 22

896 50 1
                                    

“Aku takut kau tidak terbiasa dengan makanan Singapura. Jadi aku menyuruh koki membuatkan telur dadar kesukaanmu.” Membagi olahan telur berbentuk bundar dengan hiasan daun kemangi dan saus tomat itu menjadi dua bagian, Adwithya meletakkan setengah bagian ke piring Widyanatha.

Berdiri mengelilingi meja bundar, ketiga pelayan yang ditugaskan melayani ketiga tamu istimewa bergerak cekatan. Menuang minuman, mengambil makanan yang kurang, dan siap siaga menerima perintah kala sang tuan membutuhkan.

“Apa kau menyukainya?”

“Em.” Fokus menyantap makanannya, Widyanatha tidak terlalu banyak bicara.

“Besok pagi kau akan melakukan pemeriksaan kesehatan bersama dokter Peter. Jika tidak diharuskan menginap di rumah sakit, kita akan tinggal di hotel ini sampai jadwal final operasi ditetapkan. Apa kau tidak masalah?”

“Ya.”

Hotel yang mereka tempati adalah salah satu aset keluarga Ararinda. Memadukan konsep modern-klasik, hotel setinggi 49 lantai dengan sekitar empat ribu kamar itu berdiri megah di tengah-tengah kota. Meski harga perkamar senilai sebuah motor, ribuan pelanggan—baik lokal maupun warga mancanegara—terus saja berdatangan ke sana. Fasilitas mewah dan pelayanan yang ramah merupakan kunci tegaknya bisnis mereka.

Berada di lantai 11 yang dikhususkan untuk tamu VVIP, keindahan ibu kota terpampang sempurna. Berdiri di balkon sembari menikmati sendalu bertiup pelan, para tamu akan dimanjakan dengan pemandangan jalan raya, pusat-pusat perbelanjaan, dan gedung-gedung pencakar langit yang berpadu apik dengan lampu berbagai warna ketika malam tiba.

Berjarak beberapa kaki dari kamar, sebuah restoran mewah di tepi kolam renang sudah menanti dengan hidangan kelas atas—yang bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga mata. Hanya koki bersertifikasi dan diakui dunia yang bisa bekerja di sana. Tidak tanggung-tanggung, gaji mereka juga setara dengan pejabat negara. Oleh karena itu, tidak boleh ada kesalahan dalam pelayanan. Memuaskan pelanggan adalah hal wajib yang tidak bisa disepelekan.

“Sekretaris Li, cobalah juga telur dadarnya.”

“Terima kasih, Nyonya.”

Baru akan mengangkat sumpit untuk mengambil setengah telur dadar yang tersisa, Widyanatha tiba-tiba mengentakkan sendok dan garpunya ke piring hingga berdenting. Dengan ekspresi datar dia berkata, “Jangan berani menyentuhnya!”

“Ada apa, Widyanatha?”

“Aku mau semua telur dadar itu.”

Menatap piring Widyanatha yang dipenuhi telur dadar, Adwithya menaikkan sebelah alisnya. “Telurmu masih banyak. Biarkan saja sekretaris Li memakan sisanya. Jika kau mau, aku akan memesan yang baru.”

“Telur dadar itu milikku. Tidak seorang pun bisa mengambilnya, termasuk sekretarismu.” Setiap kata Widyanatha diucapkan dengan penuh penekanan. Seperti ada makna lain yang lebih dari sekadar perebutan telur dadar.

Mengambil gelas sampanye di sebelah kanan, Sekretaris Li meneguknya perlahan-lahan. Melirik sebentar, ia bisa merasakan aroma cuka yang menguar dari tubuh sang tuan.

Mungkinkah dia sudah jatuh cinta pada nyonya?

Bosan terlibat perdebatan, Adwithya memilih mengalah. “Baiklah, semua ini milikmu. Tidak ada yang akan mengambilnya, bahkan sekretaris Li.”

Terlanjur menawarkan dan tidak ingin ada kekecewaan. Adwithya memesankan telur dadar yang sama persis seperti sebelumnya untuk Sekretaris Li. Tidak perlu menunggu lama, dalam waktu 10 menit pesanan tersaji di meja.

“Makanlah.” Meletakkan sepiring telur dadar ke depan Sekretaris Li, Adwithya tersenyum lebar.

Menatap kedua pria di depannya bergantian, ia berkata, “Karena kalian berdua menyukai hidangan yang sama, mulai besok aku akan meminta koki menyiapkan dua porsi untuk setiap makanan.”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang