Bab 21

960 48 0
                                    

Ramai, setiap sudut bandara dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan. Aroma makanan, hiruk pikuk percakapan, pemberitahuan maskapai, semua itu berpadu apik meski tak sejalan. Tawa saat pertemuan, tangis kala perpisahan, keduanya memiliki persamaan: tercipta oleh jarak yang membentang.

Fokus mendorong troli kopor, Sekretaris Li mengikuti tuan dan nyonyanya dari belakang. Melihat jam tangan, masih ada waktu setengah jam sebelum jadwal penerbangan. Berhenti, ia kemudian berputar arah menuju salah satu kedai minuman yang menawarkan es krim berbagai varian.

"Sekretaris Li?" Sadar tidak ada yang mengikuti dari belakang, Adwithya berbalik dan tidak menemukan pria yang telah mengabdikan diri padanya selama kurang lebih lima tahun dengan tulus dan setia.

"Ada apa?"

Celingak-celinguk, Adwithya mengamati sekelilingnya. "Di mana sekretaris Li?"

"Kau perhatian sekali pada dia."

"Tentu saja, dia sekretarisku."

Seketika raut wajah Widyanatha berubah datar. Melepaskan genggaman tangan, ia tersenyum mencemooh. "Ah, ya, calon selingkuhanmu, tepatnya."

Berjalan sendirian, Widyanatha meninggalkan sang istri sebelum sanggahan disampaikan. Hanya hal sepele, tetapi entah kenapa hatinya mendadak terasa panas dan ingin marah. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah diutarakan, terlebih untuk wanita tidak berperasaan yang ia benci hingga ke tulang-tulang.

Terakhir kali membiarkan Widyanatha berjalan sendirian dan menabrak orang, Adwithya dibuat terbakar emosi ketika salah seorang model peragaan busana melemparkan hinaan dengan menyebut sang suami cacat dan tidak berguna. Belajar dari kesalahan dan tidak ingin hal yang sama terulang untuk kedua kalinya, ia dengan cepat berlari mengejar. "Aku bukan Jisa, wanita yang kau cinta. Aku adalah Adwithya, wanita kejam yang paling tidak pantas menerima cemburumu, bukan?"

"Bagus kau tahu itu."

Bergelayut manja di lengan prianya, ia terkekeh pelan. "Jadi kenapa kau marah?"

"Siapa yang marah?" Dahi Widyanatha berkerut hingga membentuk beberapa lapisan. "Jangan terlalu besar kepala dan membuat kesimpulan yang tidak benar."

Adwithya mencebikkan bibir. "Oh, ya?"

"Pergi dan carilah sekretarismu itu. Jangan-jangan dia sedang mendua di belakangmu." Sejejak aura merendahkan terukir di wajah pualam Widyanatha. Berniat kembali melepaskan genggaman tangan, ia harus puas menelan kegagalan karena istrinya melekat seperti lem.

"Tidak mungkin."

"Kenapa?"

"Dia pria setia." Adwithya menuntun Widyanatha duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tunggu. "Dia bukan hanya menganggapku sebagai nyonya, tetapi juga rumah ternyaman. Tempat di mana dia akan kembali, tidak peduli sejauh apa pun dia pergi."

Satu fakta yang cukup menyenangkan untuk dibanggakan. Karena sebenarnya, cukup banyak pria yang menganggap Adwithya sebagai dewi dalam hidup mereka. Meski hal yang sama tidak berlaku bagi pria yang ia cinta. Di mata Widyanatha, ia hanyalah bintang ketidakberuntungan yang membawa luka dan nestapa.

"Sekretaris Li bukan hanya tampan, dia juga penyayang dan pengertian. Sangat sempurna, baik luar maupun dalam. Dia itu pria idaman semua wanita."

"Idaman semua wanita?"

"Em."

"Jika begitu kenapa kau memilihku dan bukan dia?" Sedikit meninggikan suara, Widyanatha membuang muka.

Adwithya menggamit lengan Widyanatha, nakal. "Karena aku mencintaimu."

"Oh."

"Sebelum buta, kau sendiri pernah melihat sekretaris Li, bukan?" Entah kenapa Adwithya mendadak antusias membahas pria berusia 26 tahun itu. Mengambil minuman ringan dari saku tas, ia memberikannya pada Widyanatha. "Menurutmu, selain aku, wanita mana yang tidak akan tergoda akan kharismanya yang luar biasa?"

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang