Bab 36

1.1K 72 4
                                    

Biar jejak duka larut dalam tawa. Meninggalkan bercak-bercak duka yang pernah tertinggal di sela kama. Biar seonggok daging bernyawa memintal keping demi keping asa—selagi sukma masih melekat dalam raga. Ketika esok menyapa, biarlah gigil nestapa yang tersangkut di dada, melebur dalam pasrah.

“Anggaplah dia sudah mati.” Bram tiba-tiba keluar dari dalam ruang ICU sambil membawa gaun putih Adwithya—yang dipenuhi bercak darah. Melempar itu pada Widyanatha, dia berkata, “Mulai hari ini, kalian tidak punya hubungan lagi. Jangan pernah mencarinya, karena untukmu, dia sudah mati.”

Menggenggam gaun di tangannya, Widyanatha berkaca-kaca. Seperti ada yang meremas-remas jantungnya—secara tak kasatmata. “Adwi tidak mungkin mati. Kalian hanya mengarangnya saja, bukan?”

“Hidup atau mati. Hak apa yang kau punya untuk bertanya?” Bram mengepalkan tangan. Jika bukan karena janji yang diikat bersama Adwithya, untuk tidak menyentuh Widyanatha. Maka, jangan menunggu nanti atau esok hari. Detik itu juga—ketika mereka saling berjumpa—pria itu akan tiada dengan mengenaskan di tangannya.

“Aku berhak bertanya. Karena aku adalah ayah dari anak yang dikandungnya.” Widyanatha bangkit dan mencengkeram kerah Bram. “Kau tidak bisa memisah ikatan ini.”

Bram menepis tangan Widyanatha. Dia tertawa hambar selagi menatap Klesi yang duduk di bangku ruang tunggu. Wanita yang ia persunting dengan penuh cinta itu menggeleng pelan. Sorot matanya dengan teduh meminta untuk tidak memulai pertengkaran.

Mendengkus, Bram mengangguk-anggukkan kepala. “Ayah dari anak yang dikandungnya? Widyanatha, aku harap kau sedang tidak menjilat ludah sendiri. Kau sendiri yang mengatakan pada dunia, bahwa anak yang dikandung Adwi mungkin hasil perselingkuhannya. Apa kau melupakan itu?”

Widyanatha tidak bisa melupakannya. Itu adalah bagian paling ia sesali dari semua kata-kata yang terucap oleh lidah. Adwithya mungkin bersalah, tetapi tidak dengan janinnya. Menuduh tanpa bukti, sama dengan tidak mengakui bahwa itu adalah darah dagingnya sendiri.

“Widyanatha, kau mengatakan tentang kepercayaan dengan bangganya. Namun, kau sendirilah yang mengingkari itu semua.” Bram mengambil sesuatu di saku kiri jasnya. Menarik lengan sang adik ipar, dia meletakkan bukti-bukti rekaman dan foto-foto selama penyekapan di telapak tangan. “Adwi tidak tahu apa-apa tentang Jisa. Dia bahkan memohon padaku untuk melepaskannya. Orang yang kau sebut dengan kejam itulah yang menjaga kekasihmu dengan begitu baiknya. Dia bahkan mengirim pelayan pribadinya untuk melayani Jisa. Kau tahu kenapa? Agar kau tidak cemas akan nasib wanita yang kau cinta.”

Widyanatha memandang semua bukti itu dengan tatapan hampa. “Tapi—”

“Tapi kau membalas semua kebaikan dengan tuba. Kau berikan hadiah terluka sepanjang hidupnya.” Bram membekap mulutnya, tanpa sadar air mata berlabuh di wajah. Setegar apa pun ia sebagai pria, selalu ada titik terlemah yang membuatnya tidak segan menunjukkan cairan bening dari kedua netra. “Kau bilang dia tidak berperasaan. Namun, ternyata kaulah yang lebih tidak berperasaan.”

“Apa maksudmu?”

“Tanyakan pada kekasihmu, dia terluka karena aku dan Adwi atau karena dia berusaha melukai diri sendiri.” Bram menepuk pundak Widyanatha. “Kau hanya melihat foto Jisa yang terluka, tanpa tahu bagaimana itu terjadi.”

Widyanatha cepat-cepat membuka rekaman suara yang diberikan Bram. Sedetik kemudian ia tergeming dengan mata membelalak. “Jisa sengaja menjatuhkan dirinya sendiri dari tangga?” Sejejak sesal terdengar tepat setelah pertanyaan diajukan.

“Kekasihmu itu sangat pintar, Widyanatha. Dia tahu Adwi mengirim mata-mata untuk mengawasinya. Karena itu dia sengaja menjatuhkan diri dari tangga, agar mata-mata Adwi memfotonya. Dengan harapan kau melihatnya dan murka.” Bram bertepuk tangan dengan kencang. Sementara kedua netra terus menatap nyalang. “Hal yang tidak aku sangka adalah rencananya berjalan sempurna. Kau menemukan foto itu dan melukai Adwi. Sementara dia? Dia baik-baik saja.”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang