"Kau menyukaiku, Sekretaris Li?"
Sekretaris Li bergeming. Pikirannya kacau. Saat hati berkata: Ya, aku menyukai Nyonya. Namun, bibir dengan ahli berdalih, "Tentu saja saya menyukai Nyonya. Nyonya seperti adik saya. Bagaimana mungkin seorang Kakak tidak menyukai adiknya?"
Alibi yang tepat. Adwithya menghela napas lega. Karena jika yang dimaksud adalah cinta antara pria dan wanita. Mungkin ia akan langsung melayangkan tamparan dan memecat pria itu keluar dari rumah.
"Kau membuatku takut saja."
Apa dicintaiku semenakutkan itu? Senyum Sekretaris Li sedikit mengembang, tetapi meninggalkan sejejak ketidaknyamanan.
"Sudah malam. Kau pulanglah. Titip salam untuk om dan tante."
"Baik, Nyonya." Mundur beberapa langkah dan kemudian berbalik pergi. Membawa hati yang kacau berantakan, Sekretaris Li berusaha untuk tetap tenang.
Suara jangkrik berpadu derak pepohonan menemani malam Adwithya yang suram. Kembali bermain ayunan, ia mengeratkan jas milik Sekretaris Li di badan. Meski tidak sepenuhnya mengusir dingin, itu cukup hangat dan wangi. Aroma parfumnya tidak pernah berubah dan selalu berhasil mengingatkan akan pertemuan pertama mereka.
"Maafkan kak Widyanatha, dia tidak bermaksud melukai Kakak."
Menyadari ada seseorang di belakangnya, Adwithya berbalik dan mendapati Kina. Gadis itu memegang dua buah cangkir porselen dan memberikan salah satu padanya. "Teh jahe merah. Sangat enak dinikmati di tengah suasana dingin begini."
"Terima kasih." Beringsut dari tempatnya, Adwithya menyisakan sebuah ruang yang cukup untuk diduduki Kina. "Kemarilah, temani aku."
"Aku pernah mendengar cerita Kakak dari ayah dan ibuku. Karena diceritakan dari mulut ke mulut, aku selalu berpikir bahwa Kakak adalah orang yang kejam dan tidak berperasaan. Namun, sepertinya aku salah. Kakak orang yang baik. Kakak hanya mencintai dalam cara yang berbeda."
Adwithya tersenyum siput. Tidak menduga Kina akan bisa memahami sesuatu yang bahkan tidak bisa dimengerti Widyanatha, sekalipun setiap hari mereka selalu bersama.
"Ketika aku dengar Kakak membeli kak Widyanatha, aku marah. Aku pikir Kakak adalah orang paling gila di dunia. Bagaimana manusia bisa diperjualbelikan seenaknya?" Terkekeh kecil, Kina menyesap teh hangatnya. "Namun yang paling tidak aku mengerti, perjanjian yang orang tuaku dan Kakak buat itu sangatlah aneh. Tidak ada keuntungan yang Kakak dapatkan. Tidak ada kata yang menunjukkan pembelian."
Membeli Widyanatha. Adwithya ingin tertawa tiap kali mengingatnya. Ia tidak benar-benar membeli, itu bukan sebuah transaksi. Ia hanya meminjam kata membeli untuk menutupi kata memberi.
"Namun, sehari di sini membuatku lebih mengerti segalanya. Membeli apa? Kakak hanya sedang berusaha membantu kami. Namun tidak ingin ada kata balas budi, Kakak memainkan peran membeli. Itu seperti seolah-olah seorang dewi berpura-pura menjadi iblis."
"Kau pandai sekali bicara." Adwithya menepuk pelan pundak Kina. "Lupakan itu dan jangan pernah katakan di depan Widyanatha. Aku menculik Jisa dan memaksanya menikahiku. Itu tetaplah sebuah kesalahan."
Kina mendesah pelan. "Kak Adwi," panggilnya.
"Em?"
"Kenapa Kakak mencintai kak Widyanatha? Kakak terlalu sempurna untuk mencintai pria biasa."
"Kenapa kau tidak membela kakakmu?"
"Dia memang pria biasa."
Menyesap teh hangat buatan Kina, Adwithya merasa lebih hangat. Itu sangat nyaman ketika menyentuh kerongkongan. "Kenapa, mengapa, dan bagaimana. Aku tidak punya jawaban untuk itu semua. Itu seperti sihir, tiba-tiba aku mulai merindukannya dan tanpa alasan mencintainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...