Bab 25

997 58 3
                                    

Manusia tidak bisa mengendalikan cinta. Namun manusia bisa menghindari luka. Jangan bertahan, jika merasa lelah. Tinggalkan dan beri kesempatan untuk mereka yang benar-benar bisa memberi bahagia.

Kata-kata Dokter Peter seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja dan mengacaukan suasana hati Adwithya. Tenggelam dalam lamunan, ia bahkan tidak sadar pintu kamar telah terbuka dan menantinya masuk ke sana. Mengembuskan napas pelan, langkah kakinya penuh dengan keraguan.

“Sekretaris Li, pergilah ke swalayan. Aku akan mengirim daftar barang belanjaan lewat pesan.” Berbalik, Adwithya tersenyum tipis ke arah Sekretaris Li.

Berdiri di ambang pintu, Sekretaris Li langsung mengiyakan perintah. Lantas dengan segera berputar haluan menuju pintu lift.

“Widyanatha?” Celingak-celinguk, Adwithya memandangi ruang tamu yang mirip kapal pecah.

Berbaring di lantai, Widyanatha seperti orang sekarat yang menunggu ajal. Netra hitamnya bertabur air mata, bibirnya merapalkan satu nama: Jisa, dan tidak ada sinar kehidupan di wajah pualamnya.

Terkejut, Adwithya langsung berlari menghampiri. Menopang kepala si pria dengan paha, ia berkata, “Apa yang terjadi, Widyanatha?”

“Jisa.”

Jisa?

Adwithya mengeratkan pelukan, sembari mengusap puncak kepala sang suami.

Apa Widyanatha sudah bertemu Jisa?

“Adwi, kembalikan Jisa padaku. Kembalikan dia.”

Tangis sendu, permintaan dari dasar kalbu, semua berkelindan membentuk sayatan demi sayatan luka di kedua netra. Adwithya menggigit bawah bibirnya. Meski ia bisa menjadi egois dengan memisahkan mereka. Sanggupkah ia melihat prianya hidup dengan jiwa yang tiada?

Ia tahu sakitnya terpisah dari orang yang dicinta. Ia paham luka yang tercipta karena paksaan sangat sulit untuk disembuhkan. Ia mengerti bahwa satu-satunya obat untuk mengakhiri ini semua adalah kepergiannya.

“Adwi, tolong kembalikan Jisa.” Ucapan Widyanatha terdengar lirih dan tak bertenaga. “Aku tidak perlu mata. Aku tidak perlu harta. Aku hanya memerlukan Jisa. Kau bisa menyiksaku semaumu, tetapi jangan pisahkan kami berdua.”

Bahkan setelah ribuan detik yang kita lewatkan bersama. Nama Jisa tidak pernah pudar di hatimu, Widyanatha. Apa yang harus kulakukan agar perasaan ini terbalaskan? Haruskah aku lompat dari lantai dua seperti Sara, baru kau akan jatuh cinta? Haruskah aku menghadap Sang Pencipta, baru semua luka ini berhenti singgah?

“Adwi, kenapa tidak kau biarkan aku mati saja?”

Melumat bibir Widyanatha, Adwithya tidak peduli jika ciumannya terlalu kasar dan membuat berdarah bibir keduanya. Semakin keras sedu sedan, semakin liar pergerakan. Amis darah berpadu kehangatan saliva seperti teh hangat yang baru diseduh; meninggalkan sensasi candu.

Mengecup leher Widyanatha, wanita dengan liontin mutiara itu menangis tersedu-sedu. “Kau bisa meninggalkanku. Namun jangan pernah menyebut tentang kematian, jika kau tidak ingin aku membuat Jisamu terluka.”

“Kembalikan Jisaku, Adwi.”

“Kenapa kau menginginkan Jisa? Apa yang dia punya, hingga kau jatuh cinta padanya? Kasih sayang, kehangatan, kelembutan, perhatian, kepedulian, aku memberikan itu semua padamu. Namun jangankan mendapat balasan, di matamu aku hanyalah orang yang menjijikan.” Suara Adwithya terdengar parau, menenggelamkan diri dalam pelukan, ia terus saja melepaskan ciuman demi ciuman di wajah dan tubuh Widyanatha.

“Jisa.” Nama itu terus menggema dari mulut Widyanatha. Begitu menyedihkan, hingga Adwithya ikut merasa sesak karenanya.

Menempelkan dahinya ke dahi Widyanatha, tangis mereka berpadu seperti badai salju—dingin dan dipenuhi kristal tak kasatmata yang menghujam jantung keduanya. “Kau ingin Jisa, bukan?”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang