Berjalan sempoyongan, Widyanatha menendang pintu rumah hingga engselnya rusak. Seperti tidak puas, dia melakukannya berkali-kali sampai papan warna kuning gading itu terkulai di lantai. Jisa yang tengah menyiapkan makan malam dibuat terkesiap dan langsung menghampiri si pria. “Sayang?”
Widyanatha tergelak kencang. Dia memeluk Jisa dengan kasar. “Kau meninggalkanku, kau membuangku, kau tidak mencintaiku! Cintamu omong kosong! Aku membencimu!”
Tidak mengerti maksud perkataan Widyanatha, Jisa menepuk-nepuk pelan wajah sang kekasih. “Kau mabuk. Sadarlah, Sayang! Kapan aku meninggalkanmu? Kapan aku membuangmu? Aku selalu bertahan mencintai, sekalipun harus dilukai mantan istrimu.”
“Kau meninggalkanku, Adwi!”
Deg! Jisa seperti kehilangan tenaga—seluruh tubuh lemas seketika. Berjalan mundur, dia menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tidak rela. “Adwi?” Membentur dinding yang membatasi ruang tamu dan dapur, tubuh gadis beriris kelabu itu merosot dalam kehampaan. Rasa takut menyerang dan meruntuhkan ketegaran. Membekap mulutnya, apa yang diucapkan Widyanatha seperti petir di siang bolong—menghancurkan kepercayaan yang dipupuk dengan susah payah.
“Adwi, kau meninggalkanku. Jadi, tidak masalah bukan, jika aku menikahi dia?” Widyanatha menghampiri Jisa dan mencium paksa bibirnya. Tangis gadis itu pecah. Aroma alkohol menyebar di mulut keduanya. “Kenapa kau tidak kembali untuk melihatku menikahi dia? Apa kau tidak sanggup, ha? Atau kau benar-benar sudah tidak lagi mencintaiku?”
“Menikahi dia?” Jisa menaikkan suaranya dan kembali bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan dia? Apa itu aku—Jisa Olimfa—wanita yang kau janjikan cinta dan lamar beberapa hari lalu?”
“Jisa? Kau adalah Adwithya Criselda Ararida! Kau istriku!”
Plak! Jisa melayangkan satu tamparan. “Aku bukan Adwi!”
“Bukan Adwi?” Widyanatha tertawa dan menjambak rambutnya sendiri—seperti orang gila. “Lalu kau siapa? Kau siapa, ha? Sampai kapan aku bersembunyi dariku?”
Jisa menutup telinganya. Berharap apa yang terjadi hanya mimpi belaka. Namun, semua benar-benar nyata. Iris jelaga itu memancarkan selaksa kerinduan. Ada sejejak rasa tak terdefinisikan—lebih dari kebencian—yang bersembunyi di balik riak-riak netra Widyanatha.
Ketika hal yang paling ditakutkan terjadi, Jisa hanya bisa termenung dalam gamang. “Seorang pembenci tidak akan melakukan ini. Apa yang baru saja kau lakukan menunjukkan kedudukan Adwi di hatimu. Sementara aku? Mungkinkah cinta itu sudah menguap, jauh sebelum kita kembali bersama?” Bergumam sendiri, gadis dengan bando hitam itu bergeming tanpa ekspresi.
Mabuk berat, Widyanatha terkapar di lantai sambil merapalkan nama wanita yang ia benci. “Adwi.”
***
“Apa yang kau lakukan?” Adwithya meninju pelan bahu Dokter Piari, sewaktu pria itu berusaha mengambil potretnya yang tengah bermain di bibir pantai. “Harusnya kau izin dulu. Pasti fotonya jelek.”
Dokter Piari melihat layar gawai dan membandingkannya dengan wajah Adwithya. Senyum semanis gula terkembang sepaket dengan lesung pipinya. “Sama saja. Kau cantik, ah, ya sangat cantik. Bidadariku yang manis.”
“Kau tahu, sekarang aku ingin sekali rasanya muntah.” Adwithya berdecak sebal, lantas mencipratkan air ke tubuh pria berkemeja floral dengan celana pendek selutut warna cokelat itu.
“Oh, ya?”
“Sejak kapan kau mulai berani menggodaku?” Mata Adwithya menyipit kala bertanya. Ia mengambil batu-batu kecil dan melemparkannya ke laut. “Jangan lupakan batasanmu. Kau dilarang memuji, menggoda, mengatakan cantik dan cinta atau sejenisnya, saat aku tidak memberimu izin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...