Bab 46 (End)

4.3K 145 14
                                    

Gayat mencumbu ragu. Yojana tak merestui temu. Predestinasi menolak rayu. Senantu kilat bertalu-talu; menyambar potongan silu. Remuk rengsa sang kalbu; jatuh dalam saru. Sepasang merpati tersekat serampu sayu.

Riuh rendah percakapan berpadu musik klasik memenuhi pendengaran. Berbincang sembari menyeruput segelas cokelat hangat terasa sangat menyenangkan, terlebih ketika memasuki musim dingin. Ditambah nuansa ceria—didominasi warna-warna terang seperti jingga, kuning, dan merah dalam pemilihan cat dinding—membuat kafe berlokasi di tengah-tengah pusat kota itu dibanjiri manusia.

Memandang jalanan yang tertutup salju, Widyanatha membeku. Sekalipun segelas cokelat hangat telah menyapa kerongkongan. Namun, tetap tak sanggup mengusir dingin yang berakar dalam kesunyian. Mendedikasikan seluruh waktu untuk berkarya, ia mencoba menumpahkan lara dan rindu yang meronta tiap detiknya. Nestapa sebagai buku pertama yang diciptakan untuk Adwithya, dalam tiga bulan melejit di pasar. Disusul Ketika Lara Menyapa yang ditulis tepat setelah pertunangan wanitanya.

Berjalan cepat sambil mendekap sebuket besar bunga, seorang pria bermantel biru tua memasuki kafe dan duduk di sebelah kanan Widyanatha, dikarenakan hanya itu tempat yang tersisa. Melambaikan tangan satu kali, pelayan berbaju putih-hitam datang dengan selembar kertas putih untuk mencatat pesanan. “Aku pesan segelas cokelat hangat dan cinnamon roll,” ucapnya, tanpa memandang muka.

“Ada lagi, Tuan?”

“Itu saja. Tolong semua itu dibungkus. Aku ingin membawanya pulang.” Mengusap-usap buket bunga yang kotor oleh salju, pria berkacamata itu tersenyum sendu. Lantas memejamkan mata, sembari merapatkan bibir yang bergetar—entah karena dingin merasuk tulang, atau karena perih yang menikam perasaan.

“Baik, Tuan.” Selesai mencatat pesanan, gadis berusia sekitar 20 tahun itu bergegas menuju bagian dapur dari kafe.

Widyanatha yang merasa familier dengan suara si pria, menoleh ke arah kanan dan mendelik. “Dokter Piari?” Mata itu langsung terarah pada kuntum bunga mawar merah yang terbaring mesra di atas meja.

Dokter Piari diam sejenak. Mengepalkan tangan erat-erat, ia membalas panggilan dengan sebuah senyuman. Widyanatha mendadak merasa canggung. Perjumpaan tak sengaja itu telah membangkitkan ingatan lama. Sembilan bulan lalu, pria berlesung pipi itu merebut Adwithya, sang kekasih jiwa. “Apa kabar?”

“Baik.”

“Bagaimana dengan Adwi?” Ia tak ingin bertanya, tetapi hati yang penasaran tak bisa disugesti. “Apa kalian sudah menikah?” Menyepi dari segala duka, Widyanatha sengaja menutup segala informasi tentang Adwithya. Apakah gadis itu telah membangun bahtera rumah tangga atau tidak, ia tak ingin mengetahuinya. Biarlah itu menjadi rahasia. Sementara ia hidup dalam lingkaran pura-pura—menganggap si wanita masih dan akan tetap jadi miliknya. Meski fakta mungkin akan menampar kama dengan tanpa iba.

Diam. Dokter Piari justru membuang muka. “Bagaimana denganmu? Kau sudah menikah lagi?”

Tanya dijawab tanya. Widyanatha terkekeh pelan. “Bagaimana aku bisa menikah lagi, jika dia masih bersarang di hati?” Turut membuang muka ke kiri kafe, di sana ada seorang pria paruh baya yang sedang bersenda gurau dengan sang istri. Manis. Andai itu dirinya dan Adwithya, tentu seonggok daging di dada tak perlu dirajam galabah.

Pelayan datang membawakan pesanan dalam tas kertas warna cokelat. Selesai membayar, Dokter Piari menatap Widyanatha. “Kau ingin bertemu Adwi?”

“Kenapa aku harus menemuinya?”

“Untuk menjelaskan segala tanya.” Mengambil buket dan tas kertas cokelat di meja, Dokter Piari berjalan menuju luar kafe. Widyanatha masih bergeming, sedetik kemudian berubah pikiran dan menyusul karena dihantui rasa penasaran.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang