Bab 30

1K 59 0
                                    

Aroma jeruk mandarin menyebar di seluruh ruangan. Beringsut ke sisi kanan ranjang, Adwithya mendapati seonggok daging empuk jadi sandaran. Melayangkan pelukan, wanita berpiama navy dengan gambar bulan dan bintang itu kembali hanyut dalam mimpi panjang.

Setelah selesai melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan bercak darah di baju Adwithya bukanlah tanda bahaya. Perdarahan implantasi—terjadi ketika sel telur menempel pada dinding rahim—adalah hal normal pada ibu hamil. Oleh sebab itu, ia diizinkan pulang lebih awal dengan catatan tidak boleh terlalu kelelahan apalagi sampai banyak pikiran.

Menatap intens wanita di pelukannya, lengkung merah muda Widyanatha terkembang samar. Adwi, aku ingin sekali masuk ke otakmu dan melihat bagaimana kau bisa menghasilkan ide-ide gila. Bagaimana bisa kau menggenggam, tetapi kemudian melepaskan tanpa sebuah beban. Bagaimana kau menghadapi dunia dengan tawa, seolah air mata adalah kembang gula yang manis di lidah.

“Widyanatha.” Masih dengan mata terpejam, Adwithya semakin membenamkan diri di dada bidang sang suami. Itu sangat hangat dan nyaman. Membuat ia betah berlama-lama menikmatinya.

“Em?”

Tidak ada jawaban. Adwithya hanya mengigau. Pria itu menarik selimut hingga menutupi tubuh keduanya, lantas dengan lembut menepuk-nepuk pantat si wanita.

Aku membencimu, itu adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar. Namun anehnya, aku selalu gagal mengendalikan diri untuk tidak bersikap baik padamu. Adwi, aku tidak tahu mantra macam apa yang sudah kau tanam di otakku—sehingga bisa memiliki kepedulian padamu.

Menyentuh mata, hidung, dan kemudian bibir Adwithya, Widyanatha mengerutkan dahi hingga membentuk beberapa lapisan.

Jika aku tidak kembali, kau pasti akan menikahi sekretaris Li atau dokter Piari. Adwi, aku tidak mengerti, cinta dalam kamusmu itu seperti apa. Mati-matian menculik Jisa dan mengancamku menikahimu, tetapi dalam sekejap kau lepaskan dengan mudahnya. Apa ini seperti permainan untukmu? Hatiku hanyalah pemuas semu yang bisa dicampakkan kapan pun kau mau. Sebutan wanita gila memang pantas untukmu.

“Apa kau ingin menciumku?” Tiba-tiba Adwithya membuka mata saat tangan Widyanatha menyentuh bibirnya.

Terkejut, buru-buru pria dengan piama sama dengan Adwithya itu menjauhkan tangannya. “Kau pura-pura tidur.”

“Tidak.” Kembali memejamkan mata, Adwithya menjadikan lengan sang suami sebagai alas kepala. “Kau yang menggangguku.”

“Oh, ya?”

“Em.”

“Kalau begitu tidurlah lagi.” Seperti sebelumnya, tangan pria itu menepuk-nepuk pantat Adwithya seolah-olah ia menidurkan seorang bayi.

“Apa kau juga melakukan hal yang sama pada Jisa?”

“Melakukan apa?”

Adwithya memegang tangan Widyanatha yang bergerak cepat, konsisten, tidak terlalu kuat, dan mendarat pas di bokongnya. “Apa kau juga menidurkan Jisa dengan cara seperti ini?”

Mempertahankan wajah datarnya, Widyanatha menggeleng. “Apa kau pikir aku semesum itu? Kami belum menikah dan tidak mungkin untukku melakukan hal tidak pantas padanya.”

Itu artinya aku yang pertama.

Adwithya mengulum senyum. “Aku menyukai caramu menidurkanku. Kelak, lakukankanlah hal yang sama setiap malamnya.”

“Kau pikir aku ini tukang menepuk bokong? Kalau mau, suruh saja sekretarismu itu.”

“Kalau begitu, besok malam jangan tidur bersamaku. Biarkan sekretaris Li di sini menggantikanmu menidurkanku.” Seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perut Adwithya, ketika mengatakan itu pada Widyanatha. Membuka mata, sepasang iris hitam itu menyambutnya dengan tatapan sangar yang memancarkan sejejak ketidaksukaan.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang