Bab 1

3.3K 158 1
                                    

Adwithya

Pernahkah kau mencintai seseorang dengan sangat gila? Pernahkah kau berambisi untuk memilikinya, tidak peduli dia mau atau tidak? Pernahkah kau dengan sukarela mengorbankan nyawa, hanya untuk melihat dia tetap hidup dan bahagia?

Aku pernah.

Itu seperti candu. Semakin ditolak, semakin hati menggebu. Hingga membiarkan raga terjebak dalam sendu, hanya untuk memuaskan kalbu.

Benar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Seperti pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap bisa menggenggam tangannya dan berkata, "Aku mencintaimu."

Kami bertemu dua tahun lalu dalam pesta pernikahan salah seorang karyawan perusahaan. Dia sederhana, tidak mencolok di mata, tetapi berhasil memporak-porandakan jiwa. "Widyanatha Derkainka," ucapnya, memperkenalkan diri.

Tanpa tanya, tanpa karena, tanpa peduli bahwa ia adalah kekasih Jisa, karyawan baru perusahaanku, aku jatuh cinta. Katakan aku gila, karena memang sejak memutuskan menyerahkan seluruh bongkah merah dalam dada hanya untuk satu nama: Widyanatha, saat itu aku telah kehilangan kewarasan.

Kalian mungkin bertanya segila apa seorang Adwithya Criselda Ararinda, wanita muda kaya raya dan terpelajar. Baiklah, biarkan aku mengatakannya pada kalian.

Dua tahun dalam cinta bertepuk sebelah tangan, aku tetap sabar. Namun ketika undangan pertunangan datang, hatiku memberontak. Hingga di hari seharusnya mereka saling bertukar cincin, aku datang dan menculik Jisa. Satu-satunya cara agar gadis itu selamat adalah dengan menikahiku.

Mau tidak mau, di bawah ancaman, Widyanatha memilih menyerahkan diri. Tidak menunggu lama, dua hari kemudian pernikahan dilangsungkan. Sampai sumpah pernikahan diucapkan, semua berjalan lancar. Namun itu tidak seperti yang dibayangkan, Widyanatha memasang taktik mundur untuk maju. Dalam euforia bahagia, pria itu melarikan diri dan menyelamatkan Jisa dari sekapan.

Semua orang menatapku dengan kejijikan. Mereka datang hanya karena status sebagai bawahan. Ketika pelarian Widyanatha diketahui, aku mendengar tawa mencela dan makian mereka. Katanya, "Antagonis wanita tidak akan pernah bahagia setelah mencuri pria dari tokoh utama wanita."

Mengabaikan mereka, aku memilih tetap fokus mencari Widyanatha. Namun kabar tidak diduga datang. Priaku kecelakaan.

Bagian paling memuakkan adalah ketika Jisa memilih menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan Widyanatha sekarat di mobil yang akan meledak. Itukah yang disebut cinta? Bukankah cinta ketika kau tidak berpikir dua kali untuk memastikan dia hidup dan baik-baik saja? Atau mungkin, hanya aku saja yang berpikir demikian? Hingga tanpa pikir panjang berlari menyelamatkan Widyanatha, saat semua orang berlari menghindar.

Wajah, bibir, hidung itu, aku melihatnya kembali dalam sampul darah akibat pecahan kaca. Lupakan kematian, menyelamatkan dia adalah prioritas utama. Nyawaku bukanlah hal berharga, demi dia, kubiarkan tubuh kecil ini terlempar dalam ledakan.

Saat itu aku tidak tahu, apakah dewa kematian akan datang atau berbelas kasihan memberi kesempatan? Aku tidak berharap banyak. Mati demi Widyanatha adalah sebuah kebahagiaan. Bahkan jika itu harus diulang, aku akan memilih jalan sama: jatuh cinta dan memberikan nyawaku untuknya.

***

"Kau beruntung bisa selamat. Setelah operasi, kau masih harus menjalani perawatan. Jangan terlalu lelah, banyak pikiran, apalagi minum alkohol. Seminggu sekali aku akan mengecek kondisimu."

"Bagaimana dengan dia?"

"Serpihan kaca mengenai mata dan merusak indra penglihatannya."

Aku beruntung hanya mengalami cedera kepala berat dan setelah operasi semua akan baik-baik saja. Namun tidak dengan Widyanatha. Dia harus menelan kenyataan pahit menjalani hari dalam kegelapan. Jika nasib boleh ditukar, aku berharap bisa berganti posisi. Bukankah manusia menjijikan sepertiku lebih layak menerima itu?

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang