Bab 39

1K 57 1
                                    

Jisa termenung di depan jendela, sendirian. Memandang pohon cemara yang ditutupi salju, air matanya tumpah. Ia tidak mengerti, mengapa setiap kali mereka bersetubuh, nama yang terucap di bibir sang kekasih adalah Adwithya—wanita yang harusnya tidak pernah singgah di kepala Widyanatha.

Natha, mungkinkah di hatimu sudah tidak ada aku lagi?

Kadang ia merasa hubungan yang terbina di antara mereka sudah sangat berubah—tidak semesra saat belum bertemu Adwithya. Di beberapa kesempatan, Widyanatha memperlakukan Jisa seperti hanya pemuas berahi saja, tidak lebih.

Aku pikir, kau hanya menjadikanku pelampiasan, Natha.

Menyeka air mata, Jisa mengembuskan napas panjang. Selaksa duka terasa menyesak di dada. Untuk pertama kalinya, ia merasa jenuh mencintai pria beiris segelap jelaga itu. Salahkah jika ia memiliki pemikiran begitu?

“Jisa.” Tangan kekar Widyanatha terasa hangat menyentuh pinggangnya. “Apa yang kau pikirkan?”

Menyandarkan dagu di bahu si wanita, Widyanatha menyesapi aroma green tea dari tubuh Jisa. “Apa ada yang menganggu pikiranmu?”

Gadis dengan tinggi 160 sentimeter itu berbalik dan menyandarkan kepala di dada bidang Widyanatha. Hening. Sejenak, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. “Sayang, aku ingin bertanya satu hal padamu.”

“Bertanya apa?” Widyanatha—masih menggunakan piama—menundukkan kepala untuk melihat langsung netra abu-abu Jisa. “Aku akan menjawab semua pertanyaanmu.”

“Benarkah kau tidak pernah memiliki perasaan pada Adwithya?” Mata Jisa berkaca-kaca sewaktu melempar tanya. Dia meremas lengan Widyanatha, menanti jawaban. “Sayang, kau tahu, aku tidak seperti dia yang bisa membiarkan prianya mencintai wanita lain di luar sana. Aku hanya menerima pria yang menyerahkan hatinya padaku saja.”

Widyanatha mengangguk. Tersenyum kecil, dia memberikan satu kecupan lembut di dahi wanitanya. “Kenapa kau bertanya seperti? Jisa, aku hanya mencintaimu. Kau jelas tahu, aku dan Adwi menikah hanya karena terpaksa. Jika dia tidak menculikmu, percayalah, yang menjadi pengantinku adalah kau.”

“Tidak sedikit pun?”

“Tidak.” Widyanatha memeluk Jisa dan berbisik di telinganya, “Aku bersumpah, jika aku mencintainya, cerita ini akan berakhir nestapa.” Suara pria berusia 28 tahun itu mengandung sedikit ragu ketika mencapai kata terakhir. Entah kenapa, hati dan bibirnya mulai kembali tidak sepaham.

“Kalau begitu, nikahilah aku secepatnya. Jadikan aku istrimu.”

Widyanatha melepaskan pelukan, kemudian berjalan beberapa langkah menuju lemari di dekat pintu—mencari sesuatu. Ada begitu banyak berkas dan dokumen, ia dengan hati-hati memeriksa dan ketika menyentuh map berwarna biru muda, senyumnya terkembang. Meletakkan berkas di atas nakas, pria bersurai hitam sedikit panjang itu kemudian menemui Jisa.

Widyanatha berlutut dengan satu kaki menyentuh lantai, sementara kaki lain dibiarkan berdiri setengah tegak. Mengambil kotak kecil warna merah menyala di saku celana, ia berkata, “Will you marry me, Jisa?” Tepat setelah kalimat manis itu diucapkan, kotak merah terbuka dan menampilkan cincin perak dengan permata kecil yang memukau.

“Sayang?” Tidak bisa berkata-kata, Jisa langsung membekap mulutnya.

“Maaf membuatmu menunggu lama.” Bangkit, Widyanatha mengambil cincin itu dan memasangkannya di jari manis Jisa—tanpa menunggu jawaban. “Aku sengaja menyiapkannya diam-diam, karena ingin memberimu kejutan. Semua berkas pernikahan telah selesai. Aku juga sudah menyewa perancang pesta pernikahan. Dalam waktu dua minggu, status kita akan berubah menjadi suami istri.”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang