“Apa yang kau lakukan di sini?” Canggung, Adwithya berusaha menjauhkan diri dari pria di hadapannya. Terus mundur ke belakang, ia menabrak wastafel.
Tersenyum sinis, pria itu bertanya, “Apa aku tidak boleh menemui istriku?”
“Aku bukan istrimu.” Mengingkari isi hati, Adwithya meremas kuat sapu tangan. Meski kalbu dipenuhi rindu, meski tangan ingin menggenggam, dan meski tubuhnya mengharapkan dekapan. Ia sadar, bahwa saat ini, mereka tidak berada di satu garis yang sama. Pria itu bukan lagi miliknya.
“Bukan istri?” Widyanatha semakin mendekatkan diri, memegang pinggang si wanita, sorot matanya mengandung sejejak kemarahan. “Ya, orang sekejam dan selicik kau tidak pantas menjadi istriku. Oleh karena itu, berhentilah berpura-pura baik seolah kau yang paling terluka.”
“Apa yang kau katakan?”
“Harusnya aku yang bertanya, berapa banyak cara licik kau punya, Adwi?”
“Rencana apa?” Memalingkan muka, Adwithya menggigit bawah bibirnya untuk meredakan gelisah. Ia sendiri tidak tahu ke mana perbincangan mereka bermuara. Mengapa pria itu datang dan langsung menginterogasinya seperti seorang tersangka.
“Aku sudah melepaskanmu. Kau harusnya tidak pernah muncul di hadapanku. Widyanatha, aku tidak bisa menjamin kegilaanku tidak akan kambuh. Jika kau tidak ingin aku menyeretmu kembali padaku, pergilah sekarang juga.” Mendorong suaminya, ia berusaha melarikan diri.
Mencegatnya, Widyanatha menyeret Adwithya dengan paksa. Lantas mendorong wanita itu hingga membentur dinding. “Melepaskanku? Kau pembohong, Adwi!”
Seketika tubuh Adwithya menegang, benturan itu terlalu kuat hingga membuat perutnya terasa nyeri. Menahan rasa sakit, ia berusaha untuk tetap berdiri kokoh. “Berbohong apa, Widyanatha? Aku sudah melepaskanmu dan mengembalikan Jisa. Apa itu kurang untukmu?”
“Aku membencimu, Adwi.” Satu tinjuan mendarat di dinding, bergeser beberapa senti saja, itu pasti akan menghantam wajah wanita di depannya. “Di mana kau sembunyikan Jisa?”
“Jisa apa?” Bingung, Adwithya tidak tahu harus menjawab apa. Karena semenjak pulang dari Singapura, ia benar-benar putus kontak dengan mereka.
“Sehari setelah aku keluar dari rumah sakit, aku dan Jisa berniat mencari apartemen di Singapura. Namun siapa menyangka, di hari itu juga aku menyaksikan orang-orangmu menculik gadisku.”
“Bukan orang-orang Adwithya, tetapi orang-orangku, Widyanatha.” Suara itu memecah ketegangan. Muncul dengan beberapa pengawal—yang entah sejak kapan ada di sana—Bram tersenyum penuh kepuasaan. “Kau pikir bisa meninggalkan adikku begitu saja, setelah membuatnya hamil?”
Kata terakhir itu bergema di telinga Adwithya. "Bagaimana kak Bram mengetahuinya? Apa sekretaris Li secara sengaja membocorkan rahasia ini?"
“Bukan sekretaris Li, Kakak mengetahui ini dari mata-mata yang mengawasi kalian selama di Singapura.” Seolah tahu isi hati Adwithya, Bram langsung meluruskan kesalahpahaman. “Karena Kakak tahu, kau pasti akan menyembunyikan hal-hal sepenting ini, demi melindungi pria sebrengsek dia.”
“Hamil apanya? Ini pasti akal-akalan kalian saja.” Widyanatha langsung menghampiri Bram dan mencengkeram kerahnya. “Di mana Jisa?”
Bruk! Widyanatha jatuh tersungkur setelah menerima pukulan dari Bram. “Akal-akalan apa? Kau yang membohongi diri sendiri dengan tidak menerima fakta, Adwi hamil anakmu dan kau malah berselingkuh. Dasar baj*ngan!”
Keringat dingin menyucur di wajah giok Adwithya. Rasa nyeri itu seratus kali lipat lebih sakit dari sebelumnya. Berusaha melerai pertengkaran, ia hanya bisa dengan lirih berkata, “Lepaskan Widyanatha, Kak. Jangan sakiti dia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...