Bab 2

1.8K 110 0
                                    

Widyanatha

"Aku membencimu, Adwi."

Brak! Bunyi barang-barang berjatuhkan memekak di ujung sana. Semenjak buta, telinga seperti mata kedua untukku. Bahkan jika Adwi berhasil menyembunyikan tangisnya, aku masih merasakan aura luka yang merayap di sekujur tubuh dan mengatakan: "Dia menangis karenamu."

Aku tidak peduli pada Adwithya dan cintanya, seperti bagaimana dia tidak peduli dan dengan egois merampas kebahagiaanku. Bahkan jika hari ini dia bunuh diri, mungkin aku akan tertawa dan mengucapkan terima kasih pada Tuhan. Akhirnya wanita iblis itu lenyap juga dari semesta.

Dulu, mengenalnya adalah hal terbaik yang pernah kutahu. Bagaimana tidak begitu, posisinya adalah pemilik perusahaan tempat Jisa berada dan karena kami berteman, dia berlaku sangat baik pada kekasihku dengan memberinya promosi.

Adwi biasa mengundangku makan malam bersamanya. Sebagai pria berkekasih, aku tentu saja membawa Jisa dan dia tidak keberatan atas itu. Kami makan bersama, tertawa, bercanda, tanpa tahu ada niat terselubung di dalamnya.

Ketika itu, dia menempati posisi kedua di hatiku setelah Jisa. Bukan, bukan posisi cinta. Itu adalah posisi di mana rasa kagum yang luar biasa karena meskipun kaya, ia gadis baik yang ramah, ceria, dan manis.

Namun gambaran betapa sempurna dan menyenangkan sosok Adwi pudar ketika dia menyatakan cinta. Kau tahu apa yang dia ucapkan seminggu sebelum pertunanganku bersama Jisa digelar?

"Aku mencintaimu. Jika bukan jadi yang pertama, tidak masalah menjadi yang kedua. Aku menginginkanmu."

"Gila!" Satu kata itu menjadi penutup percakapan. Meninggalkannya dalam kegamangan, kupikir itu adalah hal terbaik. Wanita waras mana yang ingin menjadi kedua dalam kisah cinta? Wanita waras mana yang menginginkan pria berkekasih menjadi miliknya? Hanya wanita gila yang sanggup memikirkan dan melakukan itu semua.

Kupikir itu adalah akhir kisah kami. Siapa menyangka, kegilaannya menjadi tidak terkendali. Menculik Jisa, memaksa aku menikahinya, dan ketika melarikan diri aku terbangun dalam keadaan buta. Kalian mungkin tidak akan menyangka apa yang dia lakukan selanjutnya.

"Kalian tidak akan mampu membayar biaya perawatan Widyanatha. Jika ingin anak kalian baik-baik saja, serahkan dia padaku. Bukan hanya perawatan, aku pastikan dia akan bisa melihat lagi."

"Apa maksudmu?" Samar, aku bisa mendengar suara parau ibu. Sementara ayah, entahlah, mungkin dia sedang menguatkan ibu.

"Kami telah menikah dan dia sekarang suamiku. Namun aku harus menjamin dia tidak akan melarikan diri, lagi." Adwi terdengar kejam dan menakutkan. Dalam keadaan setengah sadar, aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Aku hanya bisa mendengar, tanpa tahu apa yang mereka lakukan.

"Aku akan membelinya dari kalian."

"Kau gila?! Dia anak kami, bagaimana kami menjualnya?" Ayah yang kehabisan kesabaran mulai angkat bicara. Jika bisa, aku ingin sekali bangun dan menampar gadis itu. Dia terlalu kejam dan tidak berperasaan.

"Ketika aku membelinya, dia sepenuhnya milikku. Kalian akan tetap menjadi keluarganya, tetapi tidak punya hak apa-apa atas Widyanatha. Kehidupan dan kebebasannya milikku."

"Kami tidak mau."

"Tidak mau? Aku tidak memberi kalian pilihan. Aku hanya menjelaskan dan itu mutlak menjadi keputusan."

Setelah itu aku hanya bisa mendengar suara tangisan. Karena pada detik berikutnya kepalaku berdenyut hebat dan ketika terjaga, ibu berbisik lirih, "Maafkan kami Widyanatha. Hiduplah dengan baik bersamanya."

Kata-kata itu menjadi penjelas bagaimana nasibku berikutnya. Hidup ini bukan lagi milikku. Dia membeli hidupku---layaknya sebuah barang.

***

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang