Langit mendung tergantung di sepanjang cakrawala. Di bawah payung hitam, orang-orang dengan pakaian suram menundukkan kepala—meluahkan air mata. Dalam keheningan, semua hanyut dalam lara. Mengenang satu persatu memori yang mulai terlupa.
Kekuatan cinta nyatanya tidak benar-benar bisa menghalangi maut menyapa. Empat tahun koma, Sara akhirnya menyerah. Sekarang ia hanyalah seonggok daging tidak bernyawa yang terkubur di dalam tanah.
Duduk memeluk nisan, pria yang biasa memancarkan ketenangan senja itu menatap menerawang gundukan tanah. “Sara, kenapa kau pergi sebelum aku sempat mengatakan, aku mencintaimu? Apa kau begitu membenciku, sehingga kau tidak mau lagi melihatku, meski hanya sekali.”
Larut dalam nestapa, orang-orang di sekeliling Dokter Peter hanya sanggup berkata, "Ikhlaskan dia."
Berdiri tidak jauh dari lokasi pemakaman, Adwithya hanya bisa memandang duka pemandangan di depannya. Aku tidak mengenal Sara, tetapi cerita cintanya telah membuatku berurai air mata. Ia mungkin pencinta gila yang sanggup melakukan berbagai cara untuk mendapatkan prianya. Namun aku percaya, dia pasti wanita yang istimewa. Jika tidak, bagaimana mungkin dokter Peter membalas cinta Sara—setelah semua perbuatan celanya. Ini hanya tentang sudut pandang manusia, cinta yang gila tidak selamanya salah.
Gerimis meramaikan kedukaan. Memayungi dari belakang, Sekretaris Li tidak memedulikan tubuhnya yang basah oleh rinai hujan. “Nyonya, apa tidak sebaiknya kita pulang ke hotel saja?”
“Jika aku memiliki nasib seperti Sara, aku mungkin bahagia. Meski tiada, harapannya menjadi nyata.” Adwithya tersenyum ambigu, selagi matanya beralih menatap pria berkacamata itu.
Bagi semua orang cerita Sara berakhir duka. Menghabiskan hidupnya dalam air mata hanya untuk mengejar seorang pria. Bahkan saat perasaan itu terbalaskan, ia tidak pernah bisa menikmatinya. Namun untukku—dan mungkin juga dia—ini adalah akhir bahagia. Karena dia berhasil membuktikan pada dunia, cinta gilanya tidak sia-sia.
Hening, Sekretaris Li mengepalkan tangan dengan wajah tegang. Mencoba mengalihkan pembicaraan, ia berkata, “Pemakaman sudah selesai dilakukan. Lebih baik kita segera pulang. Hujannya mungkin akan semakin lebat.”
“Sekretaris Li, bagaimana jika kau membunuhku?”
“Nyonya, ayo kita pulang.” Mengabaikan celoteh gila Adwithya, Sekretaris Li merangkul bahu wanita dengan selendang hitam itu. Lantas dengan sedikit paksa membawanya menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari mereka.
Melepaskan rangkulan, Adwithya memegang lengan Sekretaris Li dengan tatapan memohon. “Kau bisa menabrakkan mobil ke pembatas jalan atau membiarkannya jatuh ke jurang. Seperti dokter Peter yang menyadari cintanya setelah Sara koma, mungkin saja Widyanatha bisa sedikit membalas cinta setelah aku tiada.”
“Nyonya!”
Mungkin ini adalah kali pertama Sekretaris Li membentak Adwithya. Perkataan itu lebih dari yang hatinya bisa terima. Meremas gagang payung, ia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa marah. “Apa yang Nyonya pikirkan?”
Tersenyum getir, Adwithya menjawab, “Mati.”
“Mati?” Tidak habis pikir dengan jawaban Adwithya, Sekretaris Li melepaskan satu tinjuan ke bagian depan mobil. Seketika amis darah berpadu aroma hujan menyatu dalam kepalan tangan. “Untuk orang yang bahkan tidak menghargai cinta sebesar dan setulus yang diberikan Nyonya. Kualifikasi apa yang tuan punya untuk menerima pengorbanan sebegitu besarnya?”
Menatap langit hitam yang memuntahkan tangisan, wanita berbibir merah muda sedikit pucat itu bergeming. “Dia berkualifikasi membuatku jatuh cinta.”
Jawaban yang sama sekali tidak memberi kepuasan. Menggeleng-gelengkan kepala, Sekretaris Li mencengkeram lembut lengan Adwithya. “Saya tidak mengerti, Nyonya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...