"Apa kau menemukannya?"
"Tidak, Tuan." Memeriksa isi koper hingga semua barang habis berceceran, tetapi yang dicari tidak juga ditemukan. Pelayan pria dengan seragam merah manggis itu sudah melakukan hal yang sama berulang-ulang selama hampir satu jam. Hanya ada baju, celana, dan pakaian dalam. Namun topi dengan tulisan Jisa di bagian depan, tidak ada di sana.
"Periksa sekali lagi."
Tidak punya kapasitas mendesah kesal, pelayan itu lanjut melakukan apa yang diperintahkan. Ketika hasil dari pencarian sama, ia dengan suara sedikit pelan berkata, "Tuan, saya sudah mencarinya empat kali di tempat yang sama. Bagaimana jika saya mencari di koper atau tempat lain? Barangkali tertinggal di sana."
"Em, cepat cari dan temukan topi itu."
"Baik, Tuan."
Kali ini bukan hanya satu, hampir setengah dari jumlah pelayan dikerahkan mencari topi milik Widyanatha. Namun meski mereka mencari ke setiap sudut ruangan dan menjungkirbalikkan vila, barang itu tetap saja tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
Tangan kiri memegang tongkat, sementara tangan lain mengetuk-ngetuk meja, Widyanatha mencoba berpikir ke mana hilangnya barang pemberian Jisa. Pada akhirnya semua pikiran itu mengarah pada satu nama: Adwithya.
"Di mana Adwi?"
Pelayan yang sibuk membongkar lemari berhenti ketika Widyanatha menjumpai mereka. Meski sang tuan buta, mereka tetap menundukkan kepala, tidak berani melihat wajah secara langsung. "Nyonya pergi bersama paman Jim beberapa waktu lalu. Kemungkinan sebentar lagi akan pulang."
"Tidak perlu mencari lagi. Jika Adwi datang, katakan saja aku menunggunya di kolam belakang." Sejejak kemarahan terlukis di wajah pualam Widyanatha. Meremas ujung baju, ia tidak bisa untuk tidak berpikir negatif tentang Adwithya.
"Menungguku untuk apa?" Suara Adwithya memecah keheningan. Sendirian, gadis dengan jumpsuit putih itu melenggang memasuki vila membawa kantong putih berukuran sedang. "Aku pergi ke pasar dan membeli beberapa abalone untuk makan malam. Penjualnya bilang abalone ini baru ditangkap beberapa jam sebelum pasar dibuka. Pasti sangat segar dan enak."
Sibuk dengan sekantong abalone di tangannya, Adwithya tidak memperhatikan air muka Widyanatha. Sehingga dengan tenang bertanya, "Menurutmu akan lebih enak dimasak apa? Aku juga bingung menentukan antara saus tiram atau lada hitam. Bagaimana jika masak keduanya saja?"
"Aku perlu bicara empat mata denganmu."
Menatap sekeliling, di mana pelayan berdiri mengitari mereka, Adwithya langsung paham apa maksud Widyanatha. Menyerahkan kantong abalone pada gadis berkepang dua di dekatnya, ia memberi isyarat tangan untuk mereka menyingkir dari hadapannya. "Kalian pergilah ke paviliun. Jangan ke sini sebelum aku perbolehkan.
Segera setelah perintah diturunkan, para pelayan menghambur keluar. Sekarang hanya tersisa Adwithya dan Widyanatha saja. Namun keduanya belum juga memulai percakapan. Bosan, gadis dengan sepatu kets putih itu duduk di sofa dan menyesap jus buah naga bekas prianya.
"Aku beri kau satu kesempatan untuk mengakui kesalahan. Katakan, apa kau yang mengambil topiku?"
"Topi apa?" Tidak memperhatikan Widyanatha, Adwithya fokus pada layar gawainya.
"Adwi, aku tidak tahu kau sepicik itu. Kau mengambil jam pemberian Jisa dan aku diam saja. Namun kenapa kau juga mengambil topi yang merupakan tanda cinta kami berdua? Apa tidak cukup bagimu membuatku menderita?"
Mendapat tuduhan untuk kedua kalinya, Adwithya melempar pelan gawai ke sisi kanan sofa. Berusaha tenang, ia mengembuskan napas beberapa kali. "Tidak cukup menuduhku mengambil jam tanganmu dan sekarang kau menuduh aku mengambil topimu juga. Widyanatha, apa di matamu aku serendah itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...