Bab 11

983 73 0
                                    

"Tuan Bram, Nyonya Klesi." Bibi Wei menyambut ramah kedua orang itu. Lantas mempersilakan mereka ke dalam rumah. "Di mana Al, Pre, dan Han?"

"Mereka di sekolah, jadi tidak dibawa. Padahal mereka paling suka jika diajak bertemu Adwi."

"Oh, begitu. Tuan dan Nyonya mau minum apa? Biar sekalian saya buatkan."

"Teh dan cappucino saja, Bibi Wei." Klesi menyerahkan paper bag mini. "Pagi ini aku buat brownis kukus kesukaan Adwi. Tolong Bibi Wei potong-potong dan salin ke piring."

Setelah mengambil paper bag dari Klesi, Bibi Wei bergegas menuju dapur. Namun, sebelum itu ia menyempatkan diri mengetuk kamar Widyanatha. Karena biasanya di jam segini tuan dan nyonya rumah mereka masih terlelap dalam mimpi indah.

Pintu terbuka, menampilkan wajah kusut Widyanatha yang baru terjaga. Pria itu menguap pelan dan kemudian bertanya, "Ada apa?"

"Maafkan saya, Tuan. Di depan ada Tuan Bram dan Nyonya Klesi yang ingin menemui nyonya Adwi. Bisakah Tuan memanggil nyonya untuk keluar menemui mereka?"

Kedua alis Widyanatha terpaut. "Dia tidak bersamaku malam ini. Aku pikir dia pergi ke rumah kak Bram."

Meremas tali paper bag, Bibi Wei merasakan ada yang tidak beres. Setelah pertengkaran kemarin, Adwithya langsung masuk ke rumah dan tidak keluar sepanjang malam. Jika tidak bersama Widyanatha, ke mana perginya sang nyonya?

"Tuan yakin?"

"Aku memang buta, tetapi bukan berarti aku tidak tahu ada atau tidaknya orang di kamarku." Widyanatha mendesah kesal. Jika wanita itu benar ada di sana, untuk apa ia sembunyikan?

Lama menunggu membuat Bram penasaran. Betapa terkejutnya ia mendengar perbincangan Bibi Wei dan Widyanatha. Dengan marah bertanya, "Di mana Adwi?"

"Aku tidak tahu."

"Tidak tahu? Bagaimana kau bisa dengan mudah berkata begitu?"

"Kenapa memangnya kalau aku tidak tahu? Itu tidak ada hubungannya denganku."

Bruk! Bram menonjok pintu kamar. Berhadapan dengan Widyanatha membuatnya hilang kesabaran. "Dia istrimu!"

"Oh, ya? Istri yang menikahiku dengan paksa, tepatnya." Tidak menunjukkan wajah cemas atau bersalah, dia pergi begitu saja. Terang saja membuat Bram berang dan melayangkan tinjuan ke wajah pualamnya.

Memegang wajahnya yang bengkak dan memerah, Widyanatha berkata, "Kenapa berhenti? Ayo, pukuli aku lagi!"

"Mas, sabar." Klesi memegang tubuh Bram, ketakutan. "Daripada marah, lebih baik kita mencari Adwi. Mungkin saja dia ada sekitar sini."

"Kau!" Menunjuk-nunjuk wajah Widyanatha, Bram kemudian menurunkan kepalan tangan. "Dasar tidak tahu diri!"

***

Memeriksa satu persatu ruang di kediaman, pria berjas abu-abu bergaris itu tidak bisa menutupi roman kekhawatiran. Dengan ponsel menempel di telinga, berusaha menghubungi Adwithya ribuan kali. Namun, nihil. Usaha itu sia-sia belaka karena nomor yang dituju dalam keadaan tidak aktif. Setengah kesal, Sekretaris Li menendang pintu kamar. "Nyonya, kau di mana?"

Menyesal, ia tidak seharusnya pulang lebih awal kemarin dan membiarkan Adwithya menghadapi masalah sendirian. Jika bisa, ingin sekali ia mendatangi Widyanatha dan membuat pria buta itu bertanggung jawab karena sudah melukai wanita yang ia cinta. Namun apa daya, jangankan marah, sebagai sekretaris pribadi menaruh benci saja ia tidak punya kapasitas atas itu semua.

"Adwi." Suara Bram menggema bersamaan dengan Bibi Wei dan pelayan lainnya. Mereka panik mencari di setiap sudut rumah, berharap akan menemukan jejak Adwithya.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang