“Bagaimana keadaanmu?”
Masih memakai pakaian rumah sakit, Adwithya langsung menemui Widyanatha. Duduk di tepi ranjang, hampir setengah jam ia habiskan hanya untuk memandang wajah suaminya. “Tidak apa-apa. Hanya kelelahan dan butuh istirahat saja.”
“Ucapkan terima kasih pada calon selingkuhanmu. Setelah melihatmu pingsan, dia seperti orang gila yang menghubungi ambulans di setiap rumah sakit.”
“Bagaimana denganmu?” Menggamit hidung Widyanatha, senyum nakal terukir di bibirnya. “Apa kau tidak takut sesuatu terjadi padaku? Atau justru kau berharap aku mati saat itu?”
Menjauhkan tangan Adwithya dari wajahnya, ia memasang ekspresi risih karena terus-menerus digoda. “Luar biasa, Adwi. Sebelumnya kau demam dan membuat satu rumah seperti tertimpa musibah. Kali ini, kau pingsan dan satu hotel seperti terkena gempa. Kau benar-benar hobi merepotkan orang.”
Adwithya memejamkan mata, menikmati kata demi kata yang terucap dari bibir prianya. Aku akan merindukan keluh kesah, makian, dan kebencianmu, Widyanatha. Semua kenangan ini akan kusimpan rapat di dada—abadi di dalam jiwa. Namamu akan selalu yang jadi pertama dan satu-satunya. Aku janji.
“Adwi.”
“Em?” Memainkan jari-jari Widyanatha, ada sensasi bahagia ketika membayangkan tangan itu pernah mengelus kepala dan merangkulnya dengan hangat. Bahkan dengan lembut menyeka air mata dan menenangkan ketakutannya.
“Apa kau akan meninggalkanku?”
Pertanyaan itu seperti alarm yang membangunkannya dari mimpi indah. Mengingatkan bahwa sebentar lagi, ia dan Widyanatha akan berpisah.
Detik demi detik berlalu dengan cepatnya. Itu semakin menyiksaku. Karena aku tahu, hari ini, tepat setelah kau membuka mata dan kembali melihat dunia, aku harus pergi dan merelakanmu bersama Jisa.
“Kenapa? Apa kau tidak mau aku melepaskanmu?”
Belajar tegar dan menerima semua yang terjadi sebagai ketetapan Tuhan, bukanlah perkara mudah. Adwithya berulang kali membohongi diri sendiri—bahwa ia bisa hidup sekalipun tanpa Widyanatha. Namun yang terjadi, ia bahkan tidak tahu bagaimana harus menjalani detik berikut dalam hidupnya—ketika mereka benar-benar pisah.
Apakah ia harus mengikuti jejak Sara dengan memilih tiada? Atau haruskah ia melanjutkan hidup demi buah hatinya? Ia tidak tahu. Dunia tanpa Widyanatha adalah cerita tanpa kata—hanya lembar-lembar kertas putih tidak bermakna.
“Aku tidak menyangka, kau akan melepaskanku secepat ini.” Iris segelap jelaga itu memancarkan sorot aneh. Samar-samar ada sejejak ketidakrelaan. Entah karena ia sudah terbiasa akan kehadiran Adwithya atau di dasar terdalam hatinya, benih-benih rasa telah tersemai tanpa disadari. Itu adalah misteri yang enggan ia pahami.
“Widyanatha, apa kau masih membenciku?”
“Ya.”
“Bagus.”
“Kenapa?”
Adwithya tersenyum masam. “Karena aku masih ada di hatimu.”
“Aku menyesal mengatakan itu.” Membuang muka, Widyanatha merasa jantungnya berdetak tidak karuan. Ada perasaan tidak nyaman yang membuat ia kesal.
“Aku takut, ketika aku melepaskanmu, kau tidak lagi membenciku. Saat itu, aku bahkan tidak punya ruang lagi di hatimu. Tidak untuk cinta dan tidak untuk benci. Itu lebih menakutkan dari kematian.”
Menggenggam tangan pria beralis tebal itu, ada sejejak ragu di mata Adwithya. “Aku memiliki kabar baik untukmu.”
“Apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...