Bab 14

897 62 1
                                    

Berkumpul di ruang tamu, para pelayan berbaris rapi sesuai dengan arahan Bibi Wei. Di depan mereka, duduk dengan kaki menyilang, Adwithya menyesap setengah gelas jus apel baru bicara. "Tahu kenapa aku menyuruh kalian ke sini?"

Menggeleng, salah seorang pelayan dengan cepat bersimpuh ketakutan. "Nyonya, apakah kami telah melakukan kesalahan?"

"Ya."

Serempak para pelayan lain mengikuti jejak temannya yang lebih dulu bersimpuh, setelah mendengar Adwithya mengiyakan pertanyaan. Meski sebenarnya mereka tidak tahu di mana letak kesalahan itu. "Hukum saja kami sesuka Nyonya. Namun jangan usir kami dari sini. Kami masih mau melayani Nyonya."

Melempar dua buah amplop, Adwithya memandang mereka sinis. "Pilih salah satu."

Bibi Wei dengan cepat membagikan masing-masing dua amplop pada mereka. Takut membukanya, 30 pelayan itu meneguk saliva berulang kali untuk menenangkan hati. "Nyonya," lirih mereka, memohon tidak dipecat.

"Aku bilang pilih salah satu. Aku tidak bilang kalian melihatnya saja."

Gemetar, mereka mulai membuka kedua ampop. Warna biru bertuliskan liburan, uang jajan, dan kenaikan gaji dua kali lipat. Sementara yang berwarna hijau bertuliskan pulang kampung, akomodasi perjalanan, dan kenaikan gaji dua kali lipat. Terang saja mereka menangis haru membacanya.

"Pilihlah hukuman mana yang kalian inginkan." Sorot mata sinis Adwithya berubah teduh dan menyenangkan untuk dilihat. Tertawa pelan, wanita berkaus oblong putih itu mendesah kesal. "Kalian ini sudah berapa lama mengenalku? Masih saja takut dipecat. Memangnya aku ini senang mengusir orang yang tidak melakukan kesalahan."

"Terima kasih, Nyonya." Mengabaikan hubungan tuan dan pelayan, mereka menghambur memeluk Adwithya. "Kami menyayangi, Nyonya."

"Bersiaplah dengan pilihan kalian. Yang ingin ikut liburan akan pergi bersamaku ke Pulau Tera, sementara yang ingin pulang kampung sudah kusiapkan tiket pesawat untuk kalian berangkat."

"Baik, Nyonya." Bibir Wei memeluk amplop warna hijau dengan wajah bersemangat. Sudah tiga bulan ia tidak melihat wajah anak kesayangannya. Membayangkan pertemuan membuat rindu semakin tidak tertahan.

Bersembunyi di balik dinding yang memisah ruang tamu dan ruang keluarga, Kina bersama Widyanatha mendengarkan perbincangan Adwithya bersama pelayannya. "Bukankah kak Adwi sangat baik?"

Tidak menjawab. Widyanatha memegang erat tongkatnya. "Entahlah."

"Kak, Tuhan mempunyai banyak cara mempertemukan kita dengan orang yang benar, tetapi tidak semua cara itu dimulai dengan kata benar. Cara Kakak bertemu dan menikahi kak Adwi mungkin di awali kata salah. Namun bukan berarti kak Adwi adalah orang yang salah. Mungkin saja, itu adalah cinta sejati yang dikirim Tuhan untuk Kakak."

"Kau sudah seperti pakar hati saja."

"Tidak perlu menjadi pakar hati untuk mengerti cinta. Dia hanya perlu sedikit keterbukaan dan penerimaan. Lakukan itu dan mungkin hidup Kakak akan jauh lebih bahagia. Lagipula, apa gunanya hidup di bawah bayang kak Jisa? Bukankah dia sudah meninggalkan Kakak dan pergi entah ke mana?"

"Kau tidak diizinkan bicara hal buruk tentang Jisa." Widyanatha membuang muka, marah. "Dia tidak meninggalkanku. Dia pergi pasti karena wanita jahat itu."

"Membohongi diri sendiri memang menyenangkan. Namun sadar akan fakta yang sebenarnya jauh lebih membahagiakan. Siapa yang jahat dan siapa yang baik, adakah yang pasti dalam hal ini?" Kina mengembuskan napas, pelan. Bicara seperti ini perlu banyak keberanian. Sebab bisa saja Widyanatha merasa bahwa sebagai adik, dia sudah terlalu lancang.

"Kak Adwi," seru Kina saat wanita bersurai palsu pirang itu lewat bersama Bibi Wei. "Mau ke mana?"

"Peragaan busana AR Fashion batal karena aku. Gaun rancanganmu juga terkena imbas hal itu. Untuk menebus rasa bersalah, aku sudah menyiapkan liburan ke Pulau Tera. Kita akan bersantai seminggu di sana, melepas penat dan baru setelah itu mengurus kembali peragaraan busana yang tertunda. Apa kau setuju?"

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang