Bab 17

936 59 0
                                    

Semua cerita adalah duka. Semua duka adalah cerita. Katakan, bagaimana cara menyuji senja di kama yang basah oleh luka? Katakan, bagaimana cara menata kepingan renjana di loka yang patah? Berikan aku satu jawaban, agar kubuat satu keputusan: menanti dalam tabah atau pergi dengan pasrah.

Berjalan menyusuri bibir pantai dengan membawa sekeping hati yang patah. Pikiran liar kembali menghinggapi kepala Adwithya. Jika manusia tak mau memeluk manusia. Biarlah samudra memeluknya.

Tanpa alas kaki, Adwithya membiarkan ombak-ombak kecil berkejaran menyusupi pori-pori kaki. Satu tangan memegang sepatu kets putih yang baru dilepasnya, sementara tangan lain memegang dada kiri yang berdarah. Menatap langit jingga dan laut biru yang terbentang sejauh mata memandang, ada sebuah harapan, juga impian yang ditelan kegelapan, kebencian, dan kesedihan.

Akankah dunia lebih baik tanpa aku?

Lelah berjalah, Adwithya duduk dengan kaki diselonjorkan. Mengembuskan napas panjang, ia merentangkan tangan lebar. Jika aku tenggelam dan mati di lautan, akankah Widyanatha mencariku dan menyesal?

"Mimpi!"

Tertawa pelan, gadis berlinton mutiara itu berbaring dengan tangan sebagai alas kepala. Jika saja manusia diberi kuasa untuk menentukan pada siapa ia jatuh cinta, Adwithya memilih untuk tidak jatuh cinta pada siapa-siapa. Andai ia bisa mencabut sebongkah merah di dada dan menghapus nama Widyanatha di sana, mungkin sudah ia lakukan sejak tahu bahwa itu adalah kekasih Jisa.

Namun, siapa dia? Hanya seonggok daging bernyawa yang tidak bisa memilih lahir menjadi apa, di keluarga yang mana, hidup dalam status bagaimana, dan di antara milyaran manusia pada siapa hati akan jatuh cinta. Takdir terus berjalan dalam lingkaran yang telah ditetapkan. Kadang ia berusaha menghindar, tetapi bagaimana caranya lari dari nasib yang telah digariskan Tuhan? Bukankah mustahil untuk dilakukan?

Aku lelah.

Berulang kali kata yang sama digemakan. Berulang kali juga semua berakhir dalam ketabahan. Selelah apa ia menghadapi kerasnya dunia, sekuat itu juga ia terus melangkah menghadapinya. Kadang terlihat lucu, kadang terlihat menyedihkan, kadang ingin berhenti, dan kadang kaki terus berlari.

"Nyonya?" Menilik lebih jelas, Sekretaris Li yang seharian ini mengitari pulau akhirnya menemukan Adwithya di bagian terpencil yang jarang dimasuki wisatawan. Namun, alangkah terkejutnya pria bercelana kain putih sepaha itu kala melihat bekas darah yang mengering di baju sang nyonya.

"Sekretaris Li." Tersenyum getir, Adwithya bangkit dari posisi tidur dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. "Duduklah di sini."

"Apa Nyonya terluka?"

"Hanya luka kecil."

"Tapi ...."

"Sut! Aku tidak memintamu bicara."

Hening. Mega hitam perlahan-lahan membawa kehangatan senja, menyisakan debur ombak dan angin malam yang berpadu mesra. Memandang Sekretaris Li beberapa kali, Adwithya tiba-tiba menyandarkan kepala di pundak pria berkaus pantai bergambar Pulau Tera itu.

Sekretaris Li sedikit canggung, tetapi juga bahagia. Dari sepanjang waktu yang pernah dihabiskan bersama, ini kali pertama mereka begitu dekat. Entah kenapa tangannya tidak bisa dikendalikan untuk balas merangkul Adwithya. "Nyonya."

"Sut!" Jari telunjuk Adwithya mendarat di bibir pria penyuka makanan pedas itu dan tanpa sengaja menciptakan sensasi kembang api di dalam hati Sekretaris Li.

Melihat bahan jumpsuit lengan pendek yang tipis dan tidak mampu menahan desau angin malam, Sekretaris mengumpat pada dirinya sendiri. Harusnya ia membawa jaket atau jas yang bisa dipakai Adwithya. Namun yang terjadi dia justru membuat wanita itu kedinginan.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang