Bab 44

1.3K 69 2
                                    

Terambah pilu, sewaktu yojana membawa kita pada temu. Menggetarkan kembali hasrat-hasrat fuad yang tak tersentuh bayu; hilang dalam peredaran sukma tersebab saru. Namun, kini kembali; merangkai apa yang berlalu dalam harap ria akan mencumbu.

Duduk berdampingan dengan senandung lagu yang membungkus kecanggungan, Widyanatha dan Adwithya sepakat membisu. Meski rindu membuncah kalbu—menyesak dada ingin mencumbu rayu. Namun, sorot dingin di kedua netra cokelat itu membuatnya meragu.

“Lama tidak bertemu.” Suara Widyanatha terdengar bergetar saat bertanya.

“Em.”

“Bagaimana kabarmu?” Widyanatha menoleh ke samping kanan, tepat di mana Adwithya duduk menyilangkan kaki dengan tatapan menerawang. Ada selaksa kata yang ingin disampaikan, tetapi entah mengapa berakhir dalam kesunyian—ditelan rasa bersalah dan ketakutan penolakan.

Adwithya menggigit bawah bibirnya dengan mata berkaca-kaca. Namun, sebelum hanyut lebih jauh dalam pergulatan luka, ia langsung memamerkan senyum getir yang tampak dipaksakan. “Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?” Memandang wajah pria yang selalu ia gemakan dalam rapalan doa agar terus bahagia meski tak bersamanya, sesak menyerang dada. Meremas-remas seonggok daging merah yang baru sembuh setelah dirajam duka tak berjeda. Mengapa harus ada temu, untuk dua hati yang tidak untuk satu?

“Tidak baik.” Widyanatha mengembuskan napas dalam-dalam, lantas membasahi bibir yang kering dengan saliva. Bagaimana aku bisa baik-baik saja, saat kau tidak di sisiku?

Mengerti telah melemparkan pertanyaan yang salah, Adwithya dengan cepat mengalihkan pembicaraan. “Terima kasih sudah mengantar Sem kembali. Maaf sudah merepotkanmu.”

“Aku tidak merasa direpotkan.” Widyanatha tersenyum kecil, matanya memindai ruangan yang kini mereka tempati. “Apa ini vila yang sama, dengan yang waktu itu kita kunjungi ketika aku masih buta?” Bangkit dari sofa, pria beriris segelap jelaga itu menghampiri meja dengan banyak hiasan kerang—dibentuk menjadi figura dan pajangan.

Adwithya menarik napas dalam-dalam. Ingatan akan canda, tawa, dan air mata selama di Pulau Tera kembali menghantuinya. Harusnya Widyanatha mengungkit luka lama? Terang saja ia tak bisa menahan diri untuk berkata, “Ya, ini adalah tempat di mana aku menyuruhmu membunuhku. Namun, kau dengan baiknya melepaskanku. Bahkan memberi malam pertama, meski aku tahu semua hanya atas dasar terpaksa.”

Bergeming, Widyanatha merasa sesak ketika Adwitnya mengingatkan kembali apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Saat itu, hanya karena sebuah topi, ia melayangkan tuduhan tanpa bukti. “Hari itu aku merasa sangat bersalah. Kina memberitahu bahwa dialah yang mengambil jam dan topiku.” Terkekeh pelan, sejujurnya ia merasa sangat bodoh. “Aku marah pada diri sendiri, tetapi di lain sisi menolak menjadi tersangka. Aku sangat egois, bukan? Namun, anehnya kau selalu menerima itu dengan lapang dada. Sampai aku bertanya-tanya, bagaimana seorang iblis wanita bisa memiliki stok sabar sebanyak dirimu.”

Adwithya merapatkan kedua bibirnya dan kemudian mendongakkan kepala. Rasa sakit tak berupa itu kembali menyerang sekujur tubuhnya. “Aku tidak sebaik itu, Widyanatha. Jika aku memiliki stok sabar seperti yang kau sebutkan, tidak mungkin aku memilih pergi. Merusak masa depan dan menghancurkan kisah cintamu dengan Jisa, aku layak disebut iblis wanita.”

Widyanatha mengepalkan tangan dengan tubuh gemetar. Entah sampai kapan Adwithya terus pasang badan—menerima setiap kesalahan tanpa menyatakan sanggahan. Mengapa wanita itu enggan berterus terang, ialah iblis yang sebenarnya. Sosok pecundang yang mencemari kesucian cinta. Membuat sekeping hibat tak bercela dilanda nestapa.

“Widyanatha.” Bangkit dari tempat duduknya, Adwithya berjalan menuju tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Tanpa memandang muka, ia berkata, “Maaf, aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku akan menyuruh Bibi Wei menyiapkan mobil untuk mengantarmu ke hotel. Aku permisi.”

Tidak ada kehangatan dalam nada bicara. Widyanatha serasa dihujani candrasa tak kasatmata. Hanya ada kebekuan yang terasa membungkus raga. Adwithya menciptakan jarak di antara mereka. Seolah gelora kama telah surut oleh masa dan pedihnya lara. Benarkah asa telah kandas dimakan duka? Tak ingin menyerah, pria bersurai hitam itu berbalik badan dan mengejar wanitanya. Lantas mendekap dari belakang—tanpa izin.

“Adwi, apa kau tidak mencintaiku lagi?”

***

Suatu hari, ketika matahari tak lagi menjadikanku alasannya terbit. Aku baru mengerti, apa arti gelap sesungguhnya. Di mana gamang datang bak pasukan perang. Lantas menyeret raga dalam pusaran duka tak mengenal sangkala.

Widyanatha tertawa getir, menatap rembulan yang bahkan enggan menyapa seonggok daging nista. Menutup kaca jendela, ia duduk di sofa. Menuang wine khas Pulau Tera, manisnya malam pertama bersama Adwithya membuat hati yang patah kian terluka parah. “Malam itu, aku tidak benar-benar mabuk. Aku hanya tidak terima mendengar kau dipeluk Sekretaris Li. Kau adalah istriku, sekalipun atas dasar terpaksa. Pria lain tidak boleh menyentuhmu dengan leluasa. Aku tidak menyangka, sejak hari itu sebenarnya aku sudah menyimpan rasa padamu, Adwi. Aku bodoh karena terlambat menyadari, kau adalah wanita yang berharga.”

Namun, sekalipun berbuih-buih menyatakan penyesalan. Semua itu tidak akan pernah cukup mengantih apa yang koyak. Pintu untuk mereka kembali membangun bahtera yang rusak, telah terkunci rapat. Adwithya bukan lagi rembulan yang bisa ia gapai. Ada sekat yang membuatnya harus puas menerima penolakan.

Memejamkan mata, bayang Adwithya berkejaran di kepala. Bulir hangat menyapa wajah—ia tergugu dalam sendu. Masih segar di ingatan, bagaimana lidah dengan sejuta keberanian menyatakan perasaan. Namun, balasan tak terduga menjebak hati dalam bimbang. “Benarkah aku bukan pelabuhan terakhir yang Tuhan siapkan untukmu?”

“Adwi, aku mencintaimu.” Menyesapi aroma jeruk mandarin dari tubuh mantan istrinya, ada sensasi lega merayapi raga. Dulu, setiap pagi wanita itu akan mencium keningnya—meninggalkan harum yang buat ia ketagihan mencanduinya. Sayang, ketika itu hati masih sekeras baja. Enggan menerima akan fakta: Adwithya lebih baik dari Jisa. “Apa kau tidak lagi mencintaiku?”

Adwithya membeku. Membiarkan jari-jari ramping si pria melekat di pinggangnya. “Widyanatha, kau ingat ketika aku mengatakan alasan kenapa aku mencintaimu?” Menggigit bawah bibir, kedua sudut lengkung merah muda itu membentuk senyum pedar. “Aku mencintaimu, karena kau membenciku. Suatu hari, saat kau tidak lagi membenciku. Aku pun mungkin tidak akan lagi mencintaimu. Kau ingat itu?”

“Maksudmu, kau tidak lagi mencintaiku?” Widyanatha menyandarkan dagunya di bahu Adwithya. Beberapa detik kemudian memutar pelan wanita dengan rok tulip itu, lantas menyatukan dahi keduanya. Hangat napas kedua sejoli yang pernah menikah, tetapi harus pisah karena keegoisan itu saling beradu. Menciptakan debar syahdu berlafalkan sayu. “Apa kau membenciku?”

“Meski akhirnya aku memilih menyerah, melepaskan semua obsesi yang pernah menakhtai rongga dada. Namun, tidak pernah terlintas di kepalaku untuk membencimu, dan aku tidak akan pernah sanggup membiarkan rasa itu tenggelam di kalbu. Bagaimanapun juga, kau adalah alasan Adwithya ada. Meski pada akhirnya, tidak bisa bersama. Widyanatha, aku tidak membencimu, juga tidak lagi mencintaimu.” Menelan saliva, ia menangis tersedu—meluahkan sesak yang menyerang tanpa ragu. “Widyanatha, aku tidak menyesal mencintaimu. Itu adalah hal terindah dalam hidupku. Bagiku, kau tetaplah buananya Adwithya. Namun, bukan buana yang bisa dipijaki atau dihuni dengan aku sebagai tuannya. Melainkan buana yang hanya bisa dilihat dari kejauhan. Tak untuk digenggam. Karena semakin aku berusaha membawamu ke dalam dekapan. Semakin aku tahu, permainan takdir tidak menciptakanku sebagai tulang rusukmu.”

Widyanatha menggeleng pelan. “Tidak. Kau tidak boleh mengatakan itu, Adwi. Kau tidak boleh berhenti mencintaiku.”

“Kenapa kau baru mengatakan itu sekarang?” Adwithya terkekeh kecil, meski begitu sorot matanya jelas mengandung galabah. “Widyanatha, maaf, aku sudah bersamanya. Kami akan bertunangan. Meski mencintaimu, aku tidak bisa mengkhianatinya. Mungkin, ini saatnya kita merajut bahagia. Aku dengan dia. Kau dengan wanita lain di luar sana.”

Ingatan itu berpendar di kepala. Menusuk jiwa hingga tak menyisakan ruang untuk bangkit menata asa. Widyanatha meraung seperti orang gila. Tak mengerti harus membuat keputusan apa. Di satu sisi, keegoisan memaksa untuk ia merebut Adwithya kembali. Namun, di sisi yang lain, pantaskah ia menghancurkan kebahagiaan wanita itu, lagi?

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang